Internasional

Ada Apa Dunia? Sri Lanka Bangkrut, Eropa Krisis, AS Resesi

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
24 June 2022 07:45
SRI LANKA-CRISIS/EMIGRATION
Foto: REUTERS/DINUKA LIYANAWATTE

3. Kebangkrutan negara dunia

Selain inflasi dan resesi, permasalahan ekonomi berikutnya yang mulai ditemukan di negara dunia adalah kebangkrutan. Fenomena ini sudah terjadi di Sri Lanka.

Negeri Ceylon itu saat ini berkutat dengan apa yang dikatakan sebagai krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Krisis yang dialami negara itu sebagian disebabkan oleh defisit mata uang asing karena digunakan untuk membayar utang luar negeri.

Selain itu, sumber pemasukan devisa Sri Lanka lainnya seperti dari sektor pariwisata juga menurun. Sektor pendapatan ini semakin terpukul karena pandemi Covid-19.

Hal ini pun membuat negara itu tak mampu lagi membeli komoditas pangan dan energi yang sebagian besar diimpor. Bahkan, saat ini, terjadi pemadaman listrik yang panjang di negara itu yang diikuti tutupnya sekolah dan gedung pemerintahan lainnya.

Akibatnya, kondisi ini pun telah memancing animo warganya untuk segera meninggalkan negara itu. Dalam data permintaan paspor, di lima bulan pertama tahun 2022, kantor imigrasi telah mengeluarkan 288.645 paspor. Ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan 91.331 pada periode yang sama tahun lalu.

Meski begitu, Kolombo tidak tinggal diam. Kantor Perdana Menteri (PM) Ranil Wickremesinghe sedang berusaha untuk mengadakan konferensi donor bersama China, India, dan Jepang. Selain kepada negara lainnya, ia juga meminta bantuan lembaga moneter global seperti IMF untuk menyelesaikan masalah ini.

Sementara itu, ancaman kebangkrutan akibat utang ini juga terjadi di Pakistan dan Nepal. Bank Dunia menyebut dua negara itu, serta Sri Lanka, memiliki kelemahan dalam meredam capital outflow seiring besarnya utang dan buruknya prospek ekonomi mereka. Negara tersebut kini berjuang dengan lonjakan yield surat utang, inflasi, dan depresiasi mata uang.

4. Bubarnya pemerintahan

Dalam sepekan terakhir, fenomena bubarnya pemerintahan terjadi di dua negara yakni Israel dan Bulgaria. Di Israel, parlemen negara itu memutuskan untuk mengambil langkah ini tatkala koalisi yang digagas PM Naftali Bennett mulai rapuh.

Nantinya, akan ada pemilihan umum (pemilu) yang kembali dilakukan untuk memilih pemerintahan baru. Selama keputusan pembubaran hingga pemilu akan datang, posisi PM milik Bennett akan digantikan oleh mitranya yang saat ini menjabat Menteri Luar Negeri (Menlu) Yair Lapid.

Lapid dan Bennett pada Juni 2021 membentuk koalisi setelah dua tahun kebuntuan politik. Koalisi ini juga akhirnya berhasil menumbangkan rezim Benyamin Netanyahu.

Walau begitu, koalisi yang digagas oleh Bennett ini sendiri sebenarnya mulai rapuh sejak awal. Pasalnya, koalisi ini diisi oleh partai politik dengan spektrum pemikiran yang berbeda yakni sayap kanan, liberal dan Arab.

Salah satu isu yang cukup santer memecah koalisi ini adalah terkait Palestina dan pendudukan wilayah Tepi Barat. Partai koalisi terutama partai dengan latar belakang Arab menentang hal ini.

Sementara itu, di Bulgaria, anggota parlemen oposisi menggulingkan pemerintahan PM Kiril Petkov yang mengambil alih kekuasaan enam bulan lalu dengan posisi 123-116 dalam pemungutan suara.

Voting dalam mosi tidak percaya itu dilakukan setelah koalisi yang berkuasa kehilangan dukungan mayoritas atas perselisihan tentang pengeluaran anggaran dan apakah Bulgaria harus membuka aksesi Uni Eropa Makedonia Utara.

Petkov, seorang lulusan Harvard berusia 42 tahun yang telah berjanji untuk memerangi korupsi, telah mengambil posisi pro-Eropa dan pro-NATO yang kuat sejak Rusia menyerang Ukraina. Sikap itu sangat tidak biasa bagi sebuah negara yang terkenal ramah dengan Rusia.

Analis pun memperkirakan bahwa pemerintahan baru akan membawa kebijakan yang lebih netral terhadap Rusia.

(luc/luc)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular