
Iuran BPJS Kesehatan yang Layak Disebut Rp50 Ribu, Setuju?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan rawat inap BPJS Kesehatan Kelas Standar disiapkan untuk diterapkan pada bulan Juli 2022. Namun, hingga kini kebijakan terkait besaran iuran dan besaran tarif klaim pelayanan belum juga jelas berapa besarannya.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjajaran, Ramadhan Pancasilawan berpandangan, penerapan kelas standar memang sudah harus diterapkan sesuai amanah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Berdasarkan UU 40/2004 tersebut, menurut Ramadhan pelayanan kelas standar dengan adanya 12 kriteria yang ditetapkan, mengarah seperti layanan fasilitas kesehatan BPJS Kesehatan Kelas 3 yang saat ini masih berjalan.
"Terlihat misalnya, dari satu ruangan rawat inap hanya diisi oleh 4 tempat tidur, dan 6 tempat tidur untuk peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran). Dari kelas standar itu saja sama dengan Kelas 3. Kalau bicara kualitas, maka jelas standar ini merupakan kualitas yang sama dengan Kelas 3," jelas Ramadan kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/6/2022).
Pun adanya penerapan rawat inap BPJS Kelas Standar ini, menurut Ramadhan tidak menjamin kualitasnya bisa lebih baik dari kualitas yang sudah berjalan saat ini.
"Akan agak sulit untuk mencapai kualitas terbaik, karena terpatok di Kelas 3. Bisa jadi rumah sakit pun akan memberikan kualitas yang sudah ada. Apalagi jika angkanya nanti yang standar ini setara dengan Kelas 3," tutur Ramadhan lagi.
Kendati demikian, karena pelayanan rawat inap kelas standar ini adalah amanah undang-undang, maka mau tidak mau harus dilakukan.
Kemudian juga, yang harus jadi pertimbangan otoritas adalah mengenai tarif klaim pelayanan antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan. Jika kelas standar ini diterapkan akan membuat rumah sakit tidak bisa mendapatkan harga yang mahal untuk ditagihkan ke BPJS Kesehatan.
Padahal pada prinsip asuransi, menurut Ramadhan selain prinsip ekuitas, harus ada prinsip kualitas dan rata dan adil. Sementara, pemerintah di dalam undang-undang hanya mengedepankan prinsip ekuitas saja.
"Saya kritisi prinsip yang digunakan hanya ekuitas, padahal dalam pelayanan publik atau kesehatan harus ada juga namanya quality. Equity dan equality ini tidak bisa dipisah. Selain rata juga harus adil, ini prinsipnya harus ada. Jadi prinsip-prinsip ini masih belum baik," ujarnya.
Kendati demikian, Ramadhan belum bisa mempertimbangkan berapa nominal yang pas untuk mengiur kepada masyarakat. Karena penerapan standar itu sendiri akan berbeda-beda di masing-masing rumah sakit.
Meskipun pemerintah sudah menetapkan adanya 12 kriteria untuk penerapan rawat inap kelas standar, pemerintah dan otoritas juga harus melihat kesanggupan dari masing-masing rumah sakit. Ramadhan menyarankan agar ketetapan 12 kriteria ini dibuat fleksibel agar tidak membebankan kepada rumah sakit.
"Kalau misalnya ada penyesuaian, ruangannya harus sekian, luasnya harus sekian. Padahal dengan ruangan yang ada saat ini lebih besar ukurannya, dan bisa maksimal untuk 10 tempat tidur. Tapi karena kelas standar hanya 6, ini yang harus dipikirkan. Harus bisa baca kebutuhan rumah sakit," ujarnya.
Ramadhan memberi saran, misalnya saja untuk rumah sakit meskipun satu kamar hanya boleh 6 tempat tidur, namun realitanya ruangan tersebut bisa diisi 10 tempat tidur. Sebagai gantinya bisa ditambah jumlah tenaga medis tiap ruangan agar bisa menyesuaikan 12 kriteria yang ditetapkan. "Dokter jaganya mungkin bisa ditambah," ujarnya.
Senada, Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar mengungkapkan, berdasarkan informasi yang diterimanya, rentang iuran BPJS Kesehatan Kelas Standar ini kemungkinan akan sebesar Rp 50.000 sampai Rp 75.000 per orang setiap bulan.
Menurut Timboel, jika iuran ditetapkan pada batas bawah Rp 50.000 per orang setiap bulan, tentu akan menguntungkan peserta BPJS Kesehatan Kelas 1 dan 2 saat ini. Namun, akan kesulitan bagi peserta BPJS Kelas 3.
"Kalau Kelas 3 biasanya bayar Rp 35.000, kalau misalnya dia disuruh bayar Rp 50.000 akan kesulitan. Faktanya banyak di Kelas 3 mandiri 50% menunggak, dan kalau tarifnya menjadi Rp 50.000 potensi menunggaknya akan semakin tinggi," jelas Timboel.
Oleh karena itu, menurut Timboel jika pemerintah dan otoritas menetapkan iuran untuk BPJS Kelas Standar di atas harga iuran BPJS Kesehatan Kelas 3 saat ini, sebaiknya untuk peserta Kelas 3 BPJS Kesehatan diberikan subsidi dari pemerintah agar tidak membebani mereka.
"Kalau Kelas 3 BPJS Kesehatan sekarang aja banyak yang menunggak, ini akan dijauhkan dari masyarakat. Konsekuensi kalau iuran Rp 50.000, jumlah PBI harus naik," turunya.
"Kalau pemerintah memaksakan untuk peserta mandiri satu iuran dan PBI dibedakan, saya usul Kelas 3 iurannya seperti PBI. Dengan konsekuensi seperti ini peserta Kelas 3 harus ada subsidi," kata Timboel melanjutkan.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aturan Rampung, Kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan Segera Dihapus!
