Ancaman Krisis Pangan Bukan Gertakan, RI Buruan Lakukan Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan, ada 60 negara yang di ambang keruntuhan ekonomi. Bahkan, 42 diantaranya hampir terkonfirmasi.
Dia menambahkan, saat ini banyak negara yang ekonominya ambruk, bahkan tak memiliki cadangan devisa. Lebih buruk lagi, tak bisa membeli bahan bakar dan pangan.
Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menyinggung ancaman krisis pangan. Bahkan, dia mengungkapkan, menerima telepon dari seorang Perdana Menteri, meminta Indonesia memasok minyak goreng ke negara tersebut. Karena stok menipis dan terancam krisis jika tak lagi ada tersedia di pasar.
Sejumlah negara pun melakukan pembatasan ekspor demi menjaga stok pangan di dalam negerinya. Seperti India yang melarang ekspor gandum dan Malaysia yang sempat melarang ekspor ayam hingga memicu krisis di Singapura.
Kepala Biotech Center IPB University dan Research Associate CORE Dwi Andreas Santosa mengatakan, krisis pangan terjadi jika terjadi peningkatan harga secara bersamaan dengan anjloknya harga komoditas jenis biji-bijian (serealia) dunia. Yaitu, gandum, beras, jagung, dan biji-bijian lainnya yang tak hanya menjadi sumber pangan utama, juga untuk pakan dan energi.
Andreas membandingkan kondisi saat ini dengan tahun 2020 dan 2021, dimana organisasi pangan dunia (FAO) memprediksi bakal terjadi krisis pangan. Akibat efek domino pandemi Covid-19.
"Selain itu, sudah saatnya juga pemerintah ubah policy stok pangan nasional. Tidak harus beras. Tapi, sesuaikan dengan kearifan lokal. Sehingga, ketika terjadi krisis pangan, ada cadangan dan aman."Adhi S Lukman, Ketua Umum GAPMMI |
Namun, prediksi itu tak terjadi karena produksi pangan global justru mencapai rekor di tahun 2020. Dan, di tahun 2021, harga serealia atau komoditas biji-bijian justru stabil karena produksi lebih tinggi 0,7%.
Lalu, di tahun 2022, Rusia dan Ukraina, yang adalah bagian dari negara-negara pemasok utama pangan biji-bijian seperti gandum dan jagung. Tak hanya itu, juga pemasok bahan baku pupuk
"Jika perang terus berlanjut, dunia akan kehilangan produksi, sekitar 60 juta ton gandum, 38 juta ton jagung, dan 10,5 juta ton barley. Juga pasokan minyak nabati. Perang Rusia-Ukraina mengubah pola perdagangan, produksi, dan konsumsi berbagai komoditas. Akibatnya, sejumlah komoditas cetak harga rekor di tahun 2022," kata Andreas kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/6/2022).
Dimana, dia menambahkan gandum yang diperdagangkan tahun 2021/2022 menurun meski ada sedikit kenaikan produksi.
"Di Indonesia, produksi padi sebagai komoditas pangan terpenting justru memburuk. Sejak tahun 2015, produksi padi susut 0,35% per tahun secara rata-rata. Bahkan, Indonesia tak mampu memanfaatkan peluang dari La Nina, produksi padi tahun 2019 justru anjlok 7,7%. Tahun 2020 produksi padi hanya naik 0,09% dan turun lagi 0,42%di tahun 2021," kata Andreas.
Karena itu, dia menambahkan, pertanaman dan panen pertanian tahun 2022/2023 harus diwaspadai.
"Kita perlu waspada benar stok komoditas tahun 2022/2023. Karena ketidakpastian global hingga 3 tahun mendatang. Yang bisa dilakukan adalah meningkatkan produksi pangan. Bukan hanya jargon, tapi peningkatan melalui usaha tani. Dengan menaikkan harga di petani," kata Andreas kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/6/2022).
Berikut estimasi komoditas pertanian Indonesia menurut Departemen Pertanian AS (USDA) dalam proyeksi edisi Maret 2022, yaitu:
- gandum
impor tahun 2021/2022 diprediksi naik jadi 11 juta ton dan jadi 11,2 juta ton di 2022/2023
- jagung
produksi tahun 2021/2022 diprediksi naik jadi 12,7 juta ton dan 12,9 juta ton tahun 2022/2023
- beras
produksi tahun 2021/2022 diprediksi turun jadi 34,4 juta ton, namun di 2022/2023 ada potensi naik jadi 34,6 juta ton
Pacu Stok Dalam Negeri
Ketua Umum Gabungan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, Indonesia harus segera memacu produksi pangan di dalam negeri. Sesuai arahan Presiden Jokowi.
"Tapi, tidak bisa harus semua. Harus ada skala prioritas, pemilihan komoditas mana yang akan ditingkatkan produksinya? Menurut saya harus yang bisa dan cocok di Indonesia. Selain beras, mungkin jagung atau sorgum masih bisa. Tapi kalau kedelai mungkin jangan dipaksakan," kata Adhi kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/6/2022).
Apalagi, lanjut dia, jika perang Rusia-Ukraina masih akan berlanjut. Stok pangan tahun depan harus jadi fokus utama. Sebab, perang antara kedua negara tersebut telah menggeser pola pertanaman pertanian, hingga berakibat pada turunnya panen.
"Penguatan stok pangan nasional juga harus memperhitungkan kearifan lokal. Selain beras, tentukan mana komoditas yang akan dipacu produksinya. Seperti sagu, juga singkong dan umbi-umbian bisa jadi alternatif. Jadi, yang penting harus ada prioritas. Jangan suruh tanam semua. Dulu bisa swasembada beras karena disuruh tanam pagi," kata Adhi.
Skala produksi dengan efisiensi, lanjut dia, tetap harus diperhitungkan.
"Selain itu, sudah saatnya juga pemerintah ubah policy stok pangan nasional. Tidak harus beras. Tapi, sesuaikan dengan kearifan lokal. Sehingga, ketika terjadi krisis pangan, ada cadangan dan aman," kata Adhi.
Untuk itu, dia menambahkan, pemerintah harus mulai mengutamakan kebutuhan petani. Sehingga, menjadi daya tarik yang bisa mendorong petani mau menanam. Beralih dari rezim subsidi pangan menjadi jaminan produksi petani.
"Dari sisi negara, jamin pembelian produksi dengan harga yang terjamin untuk kesejahteraan petani. Juga, jamin ketersediaan pupuk, benih, dan sebagainya," kata Adhi.
Sementara itu, saat membuka Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/6/2022), Jokowi menyinggung besaran anggaran pemerintah untuk ketahanan pangan.
"(Tahun) 2018 itu Rp 86 triliun, tahun 2022 ini Rp 92,3 triliun. Gede banget lho ini. Hasilnya apa setiap tahun? Konkret apa? Harus jelas. Kalau nggak Rp 92,3 triliun kita pakai aja belikan beras untuk stok aja, ya kan?," ujarnya.
Jokowi menginstruksikan anak buahnya agar maksimal memanfaatkan anggaran ketahanan pangan yang gemuk tersebut.
(dce/dce)