Jangan Kaget! Karena RI, Ada "Kiamat" Ini di Malaysia
Jakarta, CNBC Indonesia - Malaysia tengah menghadapi persoalan yang cukup serius. Salah satunya terkait kelangkaan pekerja migran.
Kondisi tersebut lantas berdampak pada perusahaan perkebunan kelapa sawit hingga semikonduktor yang terpaksa harus mengabaikan pesanan.
Mengutip dari Reuters, produsen menyebut bahwa Negeri Jiran itu kekurangan 1,2 juta pekerja. Adapun sebanyak 500.000 untuk konstruksi, 12.000 untuk kelapa sawit, 15.000 untuk chip, dan 12.000 untuk sarung tangan medis.
"Meski optimisme yang lebih besar dalam prospek dan peningkatan penjualan, beberapa perusahaan sangat terhambat dalam kemampuan mereka untuk memenuhi pesanan," kata Presiden Federasi Produsen Malaysia, Soh Thian Lai, yang mewakili lebih dari 3.500 perusahaan.
Pada April lalu, perusahaan sebenarnya telah meminta izin pemerintah untuk penambahan 475.000 pekerja migran. Namun demikian, Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia yang bertanggung jawab untuk menyetujui penerimaan pekerja asing hanya menyetujui 2.065 pekerja saja.
Meski pemerintah telah mencabut larangan perekrutan pekerja asing di Februari karena Covid-19, jumlah pekerja migran masih minim. Hal tersebut disebabkan oleh lambatnya negosiasi dengan sejumlah negara asal pekerja migran termasuk Indonesia dan Bangladesh, terutama soal perlindungan pekerja.
Indonesia sendiri, mengutip laman yang sama, belum memberi konfirmasi soal hal tersebut. Namun Bangladesh memberi pernyataan.
Menteri Kesejahteraan Ekspatriat dan Ketenagakerjaan Luar Negeri Bangladesh, Imran Ahmed menegaskan bahwa fokus utama pemerintahannya adalah kesejahteraan dan hak-hak pekerja warga Bangladesh.
"Kami memastikan mereka mendapatkan upah standar, mereka memiliki akomodasi yang layak, mereka menghabiskan biaya minimum untuk migrasi dan mereka mendapatkan semua jaminan sosial lainnya," ujarnya.
Pernyataan tersebut kemungkinan menanggapi terkait rilis yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat (AS) soal "kerja paksa" di beberapa perusahaan Malaysia dua tahun terakhir. Paman Sam sebelumnya juga telah memberi sanksi tujuh perusahaan karena itu.
(pgr/pgr)