Kalau AS Resesi, Apakah Ekonomi Indonesia Bakal Ikutan Jatuh?

Redaksi, CNBC Indonesia
10 June 2022 10:05
[DALAM] Resesi
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) kini seperti berada di ujung tanduk. Inflasi yang meroket direspons dengan kenaikan suku bunga acuan akan membawa perekonomian AS ke jurang resesi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai kondisi tersebut akan menimbulkan krisis keuangan di beberapa negara.

"Sekarang kita harus hati-hati dengan tren suku bunga naik, potensi krisis keuangan di berbagai dunia mungkin akan terjadi," tegas Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Tren peningkatan suku bunga sudah mulai terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Dimulai dari Amerika Serikat (AS) yang secara agresif menaikkan suku bunga sejak Maret 2022 dan terus berlanjut hingga tahun depan.

Kenaikan suku bunga dibutuhkan untuk meredam lonjakan inflasi akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi yang diperburuk oleh perang Rusia dan Ukraina. Kawasan Eropa serta Amerika Latin ikut merespons dengan hal serupa.

Kebijakan tersebut juga penting bagi negara berkembang untuk mengamankan nilai tukar agar tidak jatuh. Hal ini dianggap mampu menyeimbangkan kenaikan yield US Treasury, sehingga aliran modal tidak terlalu deras keluar.

"Emerging market akan bergerak lebih cepat karena tidak mungkin behind the curve," jelasnya.

Kemenkeu.Foto: Kemenkeu.
Kemenkeu.

Sri Mulyani juga berkaca pada sejarah. Di mana setiap kali AS menaikkan suku bunga acuan, beberapa negara alami krisis keuangan.

Contohnya ketika 1980, ketika AS menaikkan suku bunga acuan sampai dengan 20%, maka Brasil, Argentina dan Meksiko alami krisis keuangan. Hal yang sama juga terjadi lagi ketika tahun 1990 di mana suku bunga AS naik menjadi 9,75%.

"Ketika interest rate naik, emerging seperti Brasil, Meksiko dan Argentina krisis keuangan," jelasnya. Pada 2007 suku bunga acuan AS juga naik sampai 5,25%. Sehingga dunia saat itu alami krisis keuangan.

Ramalan Terhadap Ekonomi RI

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjelaskan, faktor eksternal yang menghantui tidak akan berdampak signifikan untuk ekonomi Indonesia.

"Jadi, penggerak ekonominya masih lebih banyak bersumber dari dalam negeri," tutur Faisal kepada CNBC Indonesia.

Modal kuat Indonesia, kata Faisal adalah kerjasama dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga inflasi. Pemerintah sudah berkomitmen untuk menambah beban subsidi energi dan bahan bakar, yang didanai oleh naiknya penerimaan negara akibat tingginya harga-harga komoditas.

" Hal ini sangat baik karena juga mendukung BI dalam menjaga kebijakannya agar tetap pro growth tanpa mengenyampingkan pro stability," jelas Faisal.

Dari sisi moneter, kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed juga sudah diperhitungkan oleh Bank Indonesia dan pelaku pasar. Meskipun memang akan berdampak pada nilai tukar rupiah karena akan memicu kembali outflow.

Namun, menurut Faisal, dampaknya terhadap nilai tukar rupiah tidak akan terlalu besar, karena kepemilikan asing di instrumen keuangan Indonesia sudah cukup rendah. Berbeda dengan di tahun 2013, yang memiliki porsi 40% kepemilikan asing, dibandingkan saat ini yang hanya 19,5%.

"Selain itu foreign direct investment masih mencatat inflow dan neraca perdagangan masih surplus, sehingga current account masih ada potensi surplus," tuturnya.

Dok, KemenkeuFoto: Dok, Kemenkeu
Dok, Kemenkeu

Kendati demikian, Faisal mengingatkan, bahwa jika negara-negara mengalami pelemahan ekonomi maka, akan berimbas pada permintaan ekspor Indonesia.

Memang harga-harga komoditas yang tinggi akan membuat nilai ekspor terlihat tinggi. Tapi jika volume permintaannya terus berkurang maka secara riil output yang dihasilkan Indonesia jadi cenderung berkurang.

Indonesia juga masih merupakan net importer bahan bakar, jadi jika harga minyak global turun naik, akan menjadi beban untuk subsidi dan jika terlalu tinggi harganya penambahan subsidi tidak bisa dilakukan.

"Akan meningkatkan inflasi yang tentu akan berdampak pada penurunan daya beli. Jadi inflasi adalah hal yang perlu diawasi," ujarnya.

"Untungnya inflasi Indonesia sampai saat ini masih terjaga, lalu neraca dagang masih surplus sehingga current account surplus masih berlanjut. Jadi Bank Indonesia masih ada ruang untuk menjaga suku bunga kebijakan pada level saat ini," kata Faisal melanjutkan.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bea Cukai Belum Terima Usulan Ekspor Konsentrat Tembaga

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular