Awas! Ada 'Bom' yang Bisa Lumpuhkan Ekonomi Dunia

Redaksi, CNBC Indonesia
Kamis, 09/06/2022 09:05 WIB
Foto: Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Belum sempurna nafas masyarakat dunia setelah dihantam covid-19, kini persoalan baru muncul. Tak tanggung-tanggung, persoalan yang datang bak 'bom' yang mampu lumpuhkan ekonomi dunia.

Stagflasi


Pada laporan terbaru tentang Prospek Ekonomi Global yang dirilis oleh Bank Dunia, Ekonomi global diproyeksikan melambat menjadi 2,9% pada tahun 2022, lebih rendah dari proyeksi Januari sebesar 4,1%. Jika dibandingkan dengan tahun 2021 jauh melambat. Tahun lalu ekonomi global bertumbuh 5,7%.

Inflasi yang tinggi jadi alasan dibalik terkikisnya pertumbuhan ekonomi global. Menurut Bank dunia, tingkat inflasi harga konsumen pada bulan April berada di 7,8% yoy, tertinggi sejak 2008. Rata-rata inflasi di negara berkembang mencapai 9,4% yoy, tertinggi sejak 2008 dan negara maju sebesar 6,9% yoy, tertinggi sejak 1982.

Penyebab pertama dari tingginya inflasi adalah tingginya harga komoditas. Harga komoditas energi naik tinggi karana pasokan langka akibat pandemi, diperparah oleh konflik Rusia dan Ukraina.

Begitu juga dengan komoditas bahan pangan yang saat ini harganya makin tidak terjangkau. Akibatnya aksi proteksionisme pangan bermunculan di berbagai negara. Sebenarnya malah membuat masalah rantai pasokan ini makin rumit.

"Risiko dari stagflasi cukup besar dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas bagi ekonomi berpenghasilan rendah dan menengah," kata Presiden Bank Dunia David Malpass, dikutip AFP, Rabu. "Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari."

Dan, tambahnya, jika risiko terhadap prospek terwujud, pertumbuhan global dapat melambat bahkan lebih tajam. "Ini memicu resesi di seluruh dunia" ujar Malpass memperingatkan.

Foto: Bank dunia
Inflasi Bank Dunia

Krisis Kargo

Krisis ini menjadi pemicu harga pengiriman kian mahal. Gangguan di pelabuhan utama Asia dan penguncian di kota-kota utama di China seperti Beijing dan Shanghai selama dua bulan membuat pengiriman barang macet.

Selain itu, perseteruan Rusia Ukraina telah memperbesar kemacetan logistik yang sudah ada sebelumnya.

Perlu diketahui, Rusia dan Ukraina adalah pemasok komoditas energi dan pangan utama dunia. Sehingga ketika pasokan dari kedua negara macet, dampaknya bisa dirasakan oleh berbagai negara.

Krisis Keuangan

Meningkatnya inflasi telah menyebabkan ekspektasi lebih cepat dalam pengetatan kebijakan moneter di seluruh dunia. Imbal hasil obligasi ekonomi telah meningkat secara nyata dan ukuran volatilitas ekuitas telah melihat meningkat, membebani laju aset berisiko.

Bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserves/The Fed) secara agresif telah meninggalkan era suku bunga rendah. Bulan lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. Kemudian diperkirakan pada bulan ini kenaikan suku bunga akan konstan di 50 basis poin.

Kenaikan suku bunga ini memicu apresiasi dolar AS terhadap mata uang negara berkembang yang lebih besar dari apresiasi terkait taper tantrum 2013. Hal ini membuat pembayaran utang dengan dolar jauh lebih besar nilainya.

Foto: Kemenkeu.
Kemenkeu.

Secara keseluruhan, kondisi keuangan EMDE telah mencapai level paling ketat mereka sejak awal pandemi, karena selera risiko investor telah dilemahkan oleh konflik di Ukraina, lockdown di Cina, dan suku bunga yang lebih tinggi di negara ekonomi maju.

Ekuitas dan hutang mengalir ke negara berkembang berubah tajam menjadi negatif di bulan Maret. Sementara penerbitan obligasi pada kuartal pertama tahun 2022 di seluruh negara berkembang lebih lemah daripada di kuartal pertama sejak 2016.

Negara-negara di Eropa dan Asia Tengah dan negara-negara dengan importir komoditas pernah mengalami utang jangka pendek yang cukup besar dan arus keluar ekuitas.

Lalu, daerah dengan jumlah besar eksportir komoditas telah melihat arus neraca dagang yang lebih tangguh.

Sejak eskalasi geopolitik, spread telah meningkat di seluruh rata-rata negara berkembang antara negara pengimpor dan pengekspor komoditas.Di mana jauh lebih banyak di antara pengimpor komoditas dibanding eksportir.

Sri Mulyani menyampaikan, setiap kali AS menaikkan suku bunga acuan, beberapa negara alami krisis keuangan. "Sekarang kita harus hati-hati dengan tren suku bunga naik, potensi krisis keuangan di berbagai dunia mungkin akan terjadi," tegas Sri Mulyani.

Contohnya ketika 1980, ketika AS menaikkan suku bunga acuan sampai dengan 20%, maka Brasil, Argentina dan Meksiko alami krisis keuangan. Hal yang sama juga terjadi lagi ketika tahun 1990 di mana suku bunga AS naik menjadi 9,75%. "Ketika interest rate naik, emerging seperti Brasil, Meksiko dan Argentina krisis keuangan," jelasnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Harga Emas Antam Naik Tinggi - Daftar Negara Terancam Krisis