Pembatasan Pembelian Pertalite & Solar, Sudah Tepat?

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
07 June 2022 13:40
Petugas mengisi BBM mobil di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak (SPBU) milik PT Pertamina di Jakarta, Selasa (28/8). Saat ini sebanyak 60 terminal BBM Pertamina telah menyalurkan biodiesel 20% atau B20 untuk PSO (Public Service Obligation/subsidi). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Pengisian BBM Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta CNBC Indonesia - ReforMiner Institute menilai rencana pemerintah yang akan membatasi konsumsi BBM Subsidi dan BBM Khusus Penugasan (JBKP) adalah refleksi adanya permasalahan tata kelola hulu dan hilir migas nasional.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai peningkatan harga minyak yang signifikan menyebabkan kapasitas fiskal 2022 menjadi semakin terbatas dan tidak cukup lagi untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengkaji efektivitas terutama menyangkut biaya dan manfaat yang akan diperoleh dari rencana pembatasan konsumsi BBM sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan. Adapun efektivitas dari penerapan kebijakan serupa yang telah dilaksanakan sebelumnya perlu menjadi pertimbangan.

"Meskipun tidak populis, menyesuaikan hargaBBM Subsidi danJBKP secara terbatas perlu dipertimbangkan karena kemungkinan relatif lebih efektif untuk dapat menyelesaikan permasalahan dibandingkan melakukan pembatasan konsumsiBBM," ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip Selasa (7/6/2022).

Meskipun tidak populis, menyesuaikan harga BBM Subsidi dan JBKP secara terbatas perlu dipertimbangkanKomaidi Notonegoro

Selain kompleksitas dalam implementasinya cukup tinggi, menurutnya pembatasan konsumsi BBM akan kontraproduktif dengan tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Mengingat porsi terbesar penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dari sektor konsumsi.

Selain itu, edukasi mengenai meningkatnya kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM perlu tersampaikan secara utuh kepada publik. Pasalnya, kebutuhan subsidi BBM meningkat salah satunya karena harga Solar Subsidi dipertahankan sebesar Rp 5.150 per liter, sedangkan harga Solar di negara tetangga seperti Philipina misalnya sudah di kisaran Rp 20.800 per liter.

Sementara, kebutuhan kompensasi BBM meningkat karena pemerintah melalui Kepmen ESDM No.37.K/HK.02/MEM.M/ 2022 memperluas wilayah distribusi JBKP dari sebelumnya hanya untuk wilayah di luar Jawa-Madura-Bali menjadi seluruh Indonesia. Jenis JBKP juga diubah dari BBM RON 88 menjadi BBM RON 90 yang harganya lebih tinggi dan volume konsumsinya lebih besar.

Komaidi menilai pemerintah dan publik juga dapat memilih opsi kebijakan untuk tetap mempertahankan harga BBM subsidi dan tidak membatasi konsumsi BBM subsidi dan JBKP. Dengan catatan, para pihak telah memahami dan konsekuen dengan pilihan tersebut.

"Termasuk dapat memahami jika alokasi anggaran untuk kepentingan yang lain seperti subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, subsidi pupuk, dan subsidi lainnya berkurang," kata dia.

Adapun penurunan kinerja hulu migas Indonesia dapat dikatakan sebagai bagian dari akar masalah permasalahan subsidi dan kompensasi BBM. Kemampuan produksi dan cadangan migas Indonesia turun signifikan yang mengakibatkan harus bergantung pada impor.

Produksi minyak Indonesia turun dari 1,58 juta barel per hari pada 1980 menjadi 743 ribu barel per hari pada 2020. Sementara cadangan minyak turun dari 11,60 miliar barel pada 1980 menjadi 2,44 miliar barel pada 2020.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Isi BBM Pertalite-Solar Bakal Dibatasi, Cek Kriterianya!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular