"Resesi Seks" Jepang Makin Nyata, Banyak Lelaki Masih Perjaka
Jakarta, CNBC Indonesia - "Resesi seks" mulai semakin nyata melanda Jepang. Hal ini setidaknya terlihat dari data terbaru, di mana angka kelahiran sangat rendah bahkan dikalahkan angka kematian.
Dalam sebuah rilis terbaru akhir pekan kemarin sebagaimana dimuat Reuters, ada 811.604 kelahiran tahun lalu di Negeri Sakura, rekor terendah sejak tahun 1899. Di sisi lain, angka kematian naik menjadi 1.439.809.
Selain itu, tingkat kesuburan keseluruhan turun selama enam tahun berturut-turut, menjadi 1,3. Tingkat kesuburan keseluruhan ini sendiri menggambarkan jumlah rata-rata anak yang lahir dari seorang wanita seumur hidupnya.
Kejadian ini sendiri tak lepas dari beberapa alasan. Salah satunya adalah resesi seks.
Mengacu data 2019, dalam sebuah laporan CBS News di seluruh dunia, kaum muda melakukan hubungan seks lebih sedikit dibandingkan generasi sebelumnya. "Di garis depan, Jepang menjadi pionir "resesi seks" global," tulis media itu.
Ini bukan tanpa alasan. Survei Kesuburan Nasional Jepang menemukan bahwa satu dari setiap 10 pria berusia 30-an belum pernah berhubungan seks sebelumnya.
"Para ahli yang dikutip dalam cerita tersebut menyalahkan kenaikan tingkat keperjakaan pada berbagai faktor yang cukup luas, dari meningkatnya ketidakstabilan keuangan nasional hingga munculnya aplikasi yang menawarkan persahabatan digital," ujar laporan itu seperti dilaporkan Rolling Stone.
Pakar psikolog klinis yang berbasis di Albuquerque, David Ley, mengatakan bahwa resesi seksi sendiri juga diakibatkan beberapa stigma yang memicu kecemasan orang tentang seks sejak awal. Salah satunya adalah ketakutan akan kecanduan melakukan hubungan seksual.
"Kisah dan isu ini mewakili cara kita melihat orang tentang seks. Kamu terlalu seksual, kamu terobsesi dengan seks, kamu kecanduan! Lalu tiba-tiba kamu tidak cukup berhubungan seks," terangnya.
"Bagaimanapun, langit runtuh dan kita tidak pernah mendekati ini dengan cara yang lebih bernuansa."
Singapura Juga?
Serupa dengan Jepang, Singapura juga mengalami kondisi serupa. Di 2021, angka kelahiran negara kota itu hanya mencapai 1,12 bayi per wanita. Ini sangatlah rendah dibandingkan rata-rata global yang berkisar di angka 2,3.
Dalam laporan Channel News Asia (CNA), studi yang dipimpin oleh Rumah Sakit Wanita dan Anak KK (KKH) mengatakan bahwa hampir 60% wanita Singapura yang disurvei memiliki fungsi seksual yang rendah.
Kelemahan fungsi seksual ini sendiri paling banyak diakibatkan oleh disfungsi seksual wanita adalah vaginismus. Ini merupakan kondisi di mana otot-otot di dalam vagina mengencang tanpa sadar dan mencegah benda apapun masuk ke dalamnya.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa 58,6% wanita Asia di Singapura menunjukkan skor kurang dari 22, menunjukkan bahwa mereka berisiko mengalami disfungsi seksual wanita," ungkap penelitian tersebut.
"Di antara enam item gangguan seksual yang diperiksa, hasrat seksual yang rendah dan jarang mencapai orgasme lebih sering dilaporkan pada wanita ini."
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Singapura melakukan beberapa hal. Seperti insentif uang tunai 'Bonus Bayi' hingga pembekuan sel telur.
(sef/sef)