
Sritex Merugi, Industri Garmen Kecil Terancam Gegara Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Raksasa di industri tekstil Sritex tengah mengalami masa sulit saat ini, perusahaan melaporkan rugi bersih hingga US$ 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun rupiah (asumsi kurs Rp 14.500/US$) sepanjang tahun 2021 lalu.
Jika raksasa Sritex saja bisa goyah, maka garmen-garmen kecil bisa menghadapi kondisi lebih parah.
Apalagi kondisi saat ini ada aturan baru yang bisa memperparah kondisi, yakni setelah Kementerian Perdagangan kembali membuka keran impor tekstil untuk importir umum (API-U) dengan alasan untuk bahan baku industri Kecil menengah (IKM).
"Ini alasan yang agak aneh, karena selama 3 kuarter terakhir telah terbukti bahwa industri dalam negeri sangat mampu mensuplai bahan baku untuk IKM dan puncaknya di Q1 tahun 2022 ketika permintaan naik, kami sangat mampu mensuplai bahan baku untuk IKM," kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta.
Redma menengarai bahwa ada lobi importir yang berkepentingan dibalik pemberian ijin impor ini. Pasalnya aturan baru ini bakal mempersulit industri dalam negeri sulit berkembang dengan masuknya gempuran impor tekstil.
"Ya impor sih boleh-boleh saja, tapi jangan hancurkan industri dalam negeri, suplai dalam negeri kan sudah terbukti mencukupi, kenapa harus impor?" tanya Redma.
Persoalan gempuran produk impor juga disinyalir menjadi penyebab Sritex merugi dengan nilai sangat besar. Rugi fantastis tersebut salah satunya didorong oleh pendapatan perusahaan yang tercatat turun menjadi US$ 847,52 juta, dari semula sejumlah US$ 1,28 miliar.
Meski pendapatan turun, beban pokok penjualan perusahaan malah tercatat naik signifikan, bahkan nilainya lebih besar dari pendapatan usaha. Beban pokok penjualan Sritex tahun lalu membengkak setara 144% pendapatan, dari semula 82% pendapatan tahun 2020.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Poolapack: Digitalisasi Jawab Problematika Industri Tekstil