Nah Loh! Dedengkot Ekonomi Global Ini Sebut Bakal Ada "Badai"
Jakarta, CNBC Indonesia - CEO JPMorgan Jamie Dimon memperingatkan akan datangnya badai bagi perekonomian dunia. Ia bahkan menyebut saat ini pihaknya sudah mempersiapkan apabila krisis ini benar-benar terjadi.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk inflasi yang tinggi akibat perang dan gangguan rantai pasok akibat pandemi Covid-19. Ia pun meminta institusi perbankan lainnya untuk mempersiapkan diri.
"Anda tahu, saya mengatakan ada awan 'badai', tetapi saya akan mengubahnya ... itu badai," kata Dimon pada konferensi keuangan di New York, Rabu (1/6/2022) seperti dilansir CNBC International.
"Sementara kondisinya tampak baik-baik saja saat ini, tidak ada yang tahu apakah badai itu kecil atau Superstorm Sandy."
Dimon kemudian menjelaskan ketakutan besarnya yang mungkin bermuara pada badai ekonomi ini. Pertama, ia menyebut The Fed telah memberi isyarat akan membatalkan program pembelian obligasi daruratnya dan menyusutkan neraca keuangannya.
Nantinya, apa yang disebut pengetatan kuantitatif atau QT, dijadwalkan akan dimulai bulan ini dan akan meningkat hingga US$ 95 miliar per bulan dalam pengurangan kepemilikan obligasi.
"Kami belum pernah memiliki QT seperti ini, jadi Anda sedang melihat sesuatu yang bisa Anda tulis dalam buku sejarah selama 50 tahun," ujarnya.
"Bank sentral tidak punya pilihan karena terlalu banyak likuiditas dalam sistem. Mereka harus menghilangkan sebagian likuiditas untuk menghentikan spekulasi, mengurangi harga rumah dan hal-hal seperti itu."
Kemudian, faktor besar lainnya yang mengkhawatirkan Dimon adalah perang Ukraina dan dampaknya terhadap komoditas, termasuk pangan dan bahan bakar. Ia menyebut akibat perang ini, harga minyak berpotensi naik hingga mencapai US$ 150 atau US$ 175 per barel.
"Perang menjadi buruk, (mereka) pergi ke selatan dalam konsekuensi yang tidak diinginkan," paparnya dengan menggunakan frasa 'pergi ke selatan' yang berarti menuju situasi yang memburuk.
"Kami tidak mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi Eropa dari apa yang akan terjadi pada minyak dalam jangka pendek."
The Fed sendiri telah mengambil langkah untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Juli dan Juli untuk menekan inflasi. Pasalnya, dalam data terbaru bulan April 2022, inflasi di AS telah mencapai 8,2%.
Mantan kepala ekonom SEC yang juga akademisi dari University of Southern California Marshall School of Business, Larry Harris, menyebutkan bahwa resesi memang diperlukan. Ini untuk menjinakkan inflasi yang tinggi.
"Apakah kita akan mengalami resesi? Sangat mungkin. Sangat sulit untuk menghentikan inflasi tanpa resesi." ujarnya seperti dikutip CNBC International pekan lalu.
"Kenaikan suku bunga menghambat pengeluaran dengan meningkatkan biaya pembiayaan," terang Harris.
(sef/sef)