Sritex Gagal Bayar Utang, Industri Tekstil Semenderita Itu?

Maesaroh, CNBC Indonesia
20 May 2022 17:50
Suasana Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (6/1/2022)
Foto: Pengunjung berbelanja di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (6/1/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta CNBC Indonesia - Raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman (Sritex) kini harus menghadapi ancaman delisting karena penjualan sahamnya sudah kena suspensi hampir dua tahun.
Suspensi perdagangan saham Sritex bermula ketika perusahaan mengalami gagal bayar atas utang-utang jangka pendeknya. Masyarakat pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana kondisi industri tekstil sekarang hingga salah satu raksasanya sampai gagal bayar utang?.

Industri tekstil dan pakaian jadi pernah menjadi industri primadona dan andalan ekspor Indonesia. Namun, Krisis Asia pada 1998 membuat cengkeraman industri tekstil mengendur. Pelemahan ekonomi, kurangnya investasi, serta laju impor membuat industri tersebut terpukul.

Merujuk pada Mendorong Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil , industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terus mengalami pasang surut sejak krisis 1998. Industri tersebut sempat mencetak pertumbuhan hingga 15,35% pada tahun 2019 setelah terkontraksi pada 2015 dan tumbuh rendah pada periode 2016.
Industri TPT kembali mengalami goncangan hebat setelah pandemi melanda dunia. Pada tahun 2020, industri TPT terkontraksi 8,88% sementara pada tahun 2021 melemah 4,08%.


Namun, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai industri TPT masih berpotensi besar. Industri TPT masih menyumbang ekspor sebesar US$ 10,63 miliar pada tahun 2020. Angka tersebut hanya turun tipis dibandingkan tahun 2019 (US$ 12,89 miliar). Industri TPT juga masih menyerap 4 juta tenaga kerja.

Saat ini  terdapat sekitar 22 perusahaan benang, 300 perusahaan pemintalan, dan 1.400 perusahaan penjahit yang menggerakkan industri TPT Indonesia. Industri tekstil dan pakaian jadi sendiri terbagi tiga yakni hulu (upstream), sektor industri antara (midstream), dan sektor industri hilir (downstream). Sektor industri hulu (upstream) merupakan sektor yang memproduksi serat dan benang.

Sektor industri antara (midstream) adalah industri yang memproduksi kain serta downstream yang memproduksi barang-barang jadi tekstil konsumsi masyarakat termasuk garmen yang mengolah kain jadi menjadi pakaian jadi baik kain rajut maupun kain tenun.

Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh mengatakan industri TPT memiliki prospek positif pada tahun ini. Pemulihan ekonomi serta pelonggaran mobilitas membuat permintaan akan produk tekstil meningkat.

Dampak Lebaran juga diyakini akan mendongkrak kinerja industri TPT. Pasalnya, tahun ini menjadi tahun pertama di mana pemerintah mengizinkan masyarakat untuk merayakan Lebaran dengan meriah serta memperbolehkan mudik. Pemulihan ekonomi dan dampak Lebaran membuat utilisasi pada industri tekstil melonjak.

"Lebaran sangat mempengaruhi industri TPT terutama untuk industri pakaian jadi. Permintaan meningkat cukup baik. Utilisasi untuk industri pakaian jadi pada bulan April mencapai 90%," ujar Elis, kepada CNBC Indonesia.

Neraca Perdagangan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi (US$ Miliar)Foto: Kementerian Perindustrian
Neraca Perdagangan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi (US$ Miliar)


Tidak hanya berhenti di Hari Raya Idulfitri, permintaan pakaian jadi diyakini akan tetap tinggi pada bulan-bulan mendatang karena musim ajaran baru sekolah hingga perayaan Iduladha yang jatuh pada Juli 2022. Pemulihan ekonomi global juga diyakini akan mendongkrak ekspor industri TPT. 

"Untuk kuartal II tahun ini masih ada harapan di sesi Iduladha dan juga tahun ajaran baru sekolah dimana kegiatan pendidikan dari TK, SD, dan perguruan yang akan berjalan normal. Beberapa negara sudah mulai normal dan harga kontainer dan freight sudah mulai berangsur turun" imbuhnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan pertumbuhan industri TPT yang mencapai 12,45% (year on year/yoy) di kuartal I tahun ini jauh di atas ekspektasi.

"Ekspektasi saya tumbuh 5-10%. Pertumbuhan didorong oleh mulai masuknya investasi setelah melakukan groundbreaking tahun lalu," tutur Redma, kepada CNBC Indonesia.

Dia menambahkan momen Lebaran sangat membantu pertumbuhan industri TPT pada tahun ini karena permintaan produk fashion melonjak. Mandiri Spending Index mencatat belanja fashion dan perhiasan merupakan jenis pembelanjaan yang tertinggi selama Ramadan di era pandemi. Proporsi belanja produk fasion ada di angka 14,1% di Mei atau menyamai level prapandemi (14,1%).

Namun, Redma mengingatkan geliat industri TPT bisa kembali loyo jika pemerintah tidak bisa memerangi impor. Dibukanya impor akan membuat industri TPT kalah saing karena banyak produk impor dijual lebih murah.


Dia berharap pemerintah lebih selektif dalam memberikan izin impor kepada Angka Pengenal Importir (API) umum. Sebagai catatan, API-U
adalah importir yang membeli barang dari luar negeri untuk keperluan kegiatan usaha dengan memperdagangkan atau memindahtangankan barang kepada pihak lain secara langsung.

Hal ini berbeda dengan API Produsen (API-P) di mana mereka mengimpor barang untuk dipergunakan sendiri atau mendukung proses produksi.

"Kita sudah menyurati Kementerian Perdagangan karena izin impor sudah banyak diberikan bukan hanya untuk kain tapi juga garmen. API-U ini merusak pasar," kata Redma.

Redma juga berharap kebijakan antar kementerian bisa selaras untuk mendorong industri tekstil. Dia menjelaskan kebijakan yang tidak selaras kerap merugikan industri dalam negeri, contohnya adalah dalam hal pakaian haji.

Kementerian Perdagangan dan Perindustrian mendukung pemakaian produk lokal untuk jamaah haji Indonesia. Namun, Kementerian Agama justru tidak menindaklanjutinya dan memilih produk impor.

Padahal, pakaian dan perlengkapan jamaah haji Indonesia bisa menguntungkan industri TPT dalam negeri mengingat ada jutaan jamaah yang berangkat. Jenis pakaian pun beragam mulai dari seragam hingga pakaian berhaji.

Redma juga berharap pemerintah memberi ketegasan soal kewajiban memenuhi pasar domestik (DMO) batu bara. Industri tekstil kini beralih kepada pemakaian listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).

"Kami sudah mematikan pembangkit karena batu bara sangat mahal. Harganya jauh di atas DMO (US$ 90/ton). Pasokan juga sangat susah karena banyak yang tidak mau jual ( ke domestik)," imbuhnya.

Dengan menggunakan listrik PLN, ongkos yang dikeluarkan industri di kisaran 0,1-0,09 per KWH sementara jika menggunakan pembangkit sendiri sekitar 0,07-0,08 per KWH.

Kementerian Perindustrian dalam laporan mengenai kinerja industri TPT tahun 2021 menyebutkan sejumlah tantangan juga masih dihadapi industri TPT baik dari dalam maupun luar negeri.

Tantangan dari dalam negeri di antaranya adalah daya saing industri TPT dalam negeri belum cukup mampu untuk bisa kembali mendorong ekspansi ekspor. Persoalan lainnya adalah belum adanya upaya konkret untuk membendung derasnya impor dari negara-negara dengan efisiensi yang kian membaik, seperti Bangladesh dan Vietnam.

Pangsa pasar ekspor Indonesia di level global tercatat turun dari 1,66% pada 2009 menjadi 1,58% pada 2018. Sebaliknya, Bangladesh justru berhasil meningkatkan pangsa dari 2,43 persen menjadi 4,72% dan Vietnam dari 1,86% menjadi 4,59%.

Tingginya Tarif Dasar Listrik (TDL) bagi industri, kenaikan upah buruh, tidak efisiensinya produksi, dan sulitnya mencari kredit perbankan juga menjadi tantangan industri TPT.

Tantangan dari eksternal di antaranya adalah persoalan perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA), ketergantungan terhadap berbagai bahan baku impor, serta fluktuasi mata uang rupiah.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular