Larangan Ekspor CPO Bikin Petani Menjerit Terancam Miskin

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
19 May 2022 09:40
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa, (17/5/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa, (17/5/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Desakan petani membuka kembali keran ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan beberapa produk turunannya diakui memicu dilema. Pemerintah melarang ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya mulai 28 April 2022 hingga waktu ditentukan kemudian.

Mengutip pernyataan bersama petani sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Apkasindo Perjuangan, Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR), Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI), Serikat Petani Indonesia (SPI), disebutkan kebijakan di Indonesia sangat lemah dan cenderung mendukung oligarki sawit sejak lama.

"Kami menyadari, dengan pencabutan keran ekspor CPO dan turunannya akan membuat tepuk tangan oligarki sawit," begitu bunyi poin pertama Pernyataan Bersama tersebut, dikutip Rabu (18/5/2022).

Sekjen SPKS Mansuetus Darto menuturkan, struktur pasar sawit terdiri dari 5 jaringan.

Pertama traders (pedagang), yaitu pihak yang mempunyai kebun dan pabrik CPO, eksportir, membeli CPO dari pihak lain juga, dan punya refinery dalam negeri (minyak goreng, biodiesel) dan bahkan di luar negri. Bisa dibilang menguasai pasar.

Kedua, produsen. Mereka yang memiliki kebun, pabrik CPO, menjual CPO ke traders (pedagang) dan membeli CPO dari pihak lain juga.

Ketiga, growers atau perusahaan perkebunan sawit. Yaitu, punya pabrik sawit olah jadi CPO, sebagian juga punya kebun sawit dan mereka menjual ke produsen, bahkan ada yang ke traders.

Keempat, petani plasma, yang bermitra dengan perusahaan sawit. Rata-rata luas lahannya adalah 2 ha/KK.

Kelima, petani swadaya. Yang memiliki lahan sendiri, bangun kebun sawit sendiri, sebagian beli kebun sawit jadi dari orang lain dan mereka menjual secara individu ke ke tengkulak dan ram (tempat jual beli TBS sawit).

"Dengan struktur begini tentunya, tidak adil. Oligarki sawit itu di link (jaringan) 1. Yang mengontrol hulu dan hilir. Semuanya punya untuk infrastruktur bisnis," kata Mansuetus kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/5/2022).

"Presiden Joko Widodo (Jokowi) hendak menjewer mereka, tapi dukanya ke petani. Mengapa? Karena ketergantungan yang sangat akut dalam ekosistem sawit itu sejak lama," lanjutnya.

Kalau saja, imbuh dia, minyak goreng dan biodiesel yang dikelola di dalam negeri dan bahan bakunya dari petani sawit, petani diyakini tidak akan terdampak larangan ekspor CPO dan turunannya.

"Makin kuat posisi oligarki sawit itu dimana mereka mengembangkan secara besar-besaran pabrik biodiesel mereka karena insentif dari Pungutan Ekspor (PE) yang diberikan oleh pemerintah," katanya.

"Dilema? Yah dilema. Serba salah, tapi yah selamatkan petani sawit saat ini. Harga rendah, petani terancam miskin. Kita pikir jangka pendek. Soal perbaikan monopoli oleh okigarki sawit itu adalah tanggungjawab pemerintah untuk jangka menengahnya," tukas Mansuetus.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa, (17/5/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)Foto: Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa, (17/5/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa, (17/5/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Untuk itu, Mansuetus menambahkan, pemerintah perlu memiliki prioritas dalam perbaikan tata kelola sektor sawit Tanah Air, yaitu:

1. Selamatkan petani, cabut larangan ekspor.
2. Benahi tata kelola hulu dan hilir.
3. Sistem perkebunan yang adil dan beradab.

Adil dan beradab, kata dia, dimana perusahaan perkebunan didorong mengembangkan hilirisasi produk sawit dalam negeri dan hulu dikuasai koperasi petani.

"Caranya? Batasi luas lahan sawit perusahaan sekarang juga dengan moratorium permanen. Yang ada saat ini dikelola saja dan ditingkatkan produktivitasnya," ujarnya.

Selain itu, dia menambahkan, pemerintah harus tegas melakukan pembatasan HGU.

"Makanya, data HGU oleh BPN jangan ditutupi tapi harus dibuka ke publik. Sambil perkuat koperasi petani menjadi korporasi rakyat yang kuat," katanya.

Jika pemerintah serius hendak melakukan perbaikan tata kelola sawit dan memerangi mafia, imbuh dia, transparansi data harus jadi komitmen pemerintah.

Jika tidak, kisruh sawit nasional nggak akan beres-beres.

"Land bank itu ada 5 juta ha. Mayoritas ada di Papua. Kalau bisa dikelola transparan bagus juga. Ini kan tidak. Perusahaan traders itu juga tidak transparan soal dari mana mereka dapat bahan baku. Makanya ini erat kaitannya juga dengan tidak membuka data penguasaan lahan melalui HGU," kata Mansuetus.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wah, Jokowi Cabut Ratusan Izin Sektor Hutan Seluas Jutaan Ha

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular