
Ke Washington DC, Pertamina Gandeng Chevron Garap Bisnis Baru

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) menggandeng Chevron Corporation melalui anak usaha, Chevron New Ventures Pte. Ltd. (Chevron) untuk menjajaki peluang bisnis baru. Salah satunya yakni terkait peluang bisnis rendah karbon di Indonesia.
Adapun, penandatanganan MoU dilakukan oleh Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati dan Executive Vice President Business Development Chevron, Jay Pryor yang berlangsung di Washington, DC semalam, Kamis waktu Indonesia (12/5/2022).
Presiden Chevron New Energies, Jeff Gustavson mengatakan pihaknya cukup antusias dalam membangun sejarah Chevron hingga hampir 100 tahun di Indonesia. Kerjasama ini untuk terus mengidentifikasi peluang rendah karbon melalui kolaborasi dan kemitraan antara Chevron, BUMN, dan pemerintah yang masing-masing memiliki kepentingan bersama dalam mendorong transisi energi nasional.
"Melalui potensi kerja kami di Indonesia, dan seluruh kawasan Asia Pasifik, kami berharap dapat menyediakan energi yang terjangkau, andal, dan selalu bersih, serta membantu industri dan konsumen yang menggunakan produk kami untuk mencapai tujuan rendah karbon mereka," ungkap Jeff.
Chevron dan Pertamina sendiri berencana untuk mempertimbangkan teknologi panas bumi baru (novel geothermal); penyeimbangan karbon (carbon offsets) melalui solusi berbasis alam; penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (carbon capture, utilization, and storage) (CCUS); serta pengembangan, produksi, penyimpanan, dan transportasi hidrogen dengan rendah karbon (lower carbon hydrogen).
Kerja sama antara Chevron dan Pertamina ini merupakan bagian dari upaya kedua perusahaan untuk mendukung target net zero emission Pemerintah Indonesia pada tahun 2060. Adapun Pertamina berkomitmen meningkatkan bauran energi terbarukan dari 9,2 persen pada tahun 2019 menjadi 17,7 persen di tahun 2030.
Sementara, Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati mengungkapkan bahwa sebagai BUMN energi terbesar di Indonesia, Pertamina terus berkomitmen untuk mempercepat transisi energi sesuai dengan target pemerintah.
"Kemitraan ini merupakan langkah strategis bagi Pertamina dan Chevron untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing, serta mengembangkan proyek dan solusi energi rendah karbon untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi dalam negeri," ujarnya.
Indonesia, sebagai negara kedua terbesar yang memiliki kapasitas terpasang panas bumi telah mengembangkan geothermal sejak tahun 1974. Saat ini, melalui Subholding Power & NRE, Pertamina memiliki total kapasitas terpasang Geothermal mencapai 1.877 MW yang berasal dari 13 area kerja Geothermal, di mana 672 MW berasal dari area kerja yang dioperasikan sendiri dan 1.205 merupakan kontrak operasi bersama (joint operation contract/JOC).
Area kerja yang dioperasikan sendiri dengan total kapasitas 672 MW tersebut mencakup Area Sibayak 12 MW, Area Lumut Balai 55 MW, Area Ulubelu 220 MW, Area Kamojang 235 MW, Area Karaha 30 MW, dan Area Lahendong 120 MW.
Selain itu, Pertamina juga melakukan diversifikasi pengembangan geothermal, antara lain yang saat ini tengah berjalan sebagai pilot project adalah green hydrogen yang dikembangkan di Area Ulubelu dengan target produksi 100 kg per hari dan brines to power yang dikembangkan di Area Lahendong serta memiliki potensi kapasitas 200 MW dari beberapa area kerja lainnya.
Adapun, Pertamina saat ini juga tengah mengembangkan penerapan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization, and Storage (CCUS) sebagai salah satu strategi perseroan mengurangi emisi karbon di dua lapangan migas yakni Gundih dan Sukowati. Pertamina juga sedang mengkaji komersialisasi penerapan teknologi CCUS di wilayah Sumatera.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Hulu Migas, Pertamina Ajak Chevron Berbisnis Ini di RI