
Sandang, Pangan, Papan, Naik Semua! Pusing...

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan ada dua faktor yang menyebabkan lonjakan harga barang melonjak secara bersamaan seperti sekarang ini. Dari domestik, faktor lebaran menjadi pemicu kenaikan harga barang-barang karena adanya lonjakan permintaan. Secara historis, momen Lebaran memang menjadi puncak konsumsi masyarakat Indonesia karena meningkatnya permintaan barang dan jasa.
"Yang mendorong salah satunya adalah faktor lebaran. Ada kenaikan harga terutama barang kebutuhan keluarga. Itu kan fenomena rutin setiap mau lebaran," tutur Piter, kepada CNBC Indonesia.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per 1 April dan kenaikan Pertamax serta rencana kenaikan Pertalite dan LPG 3 Kg juga ikut mendorong tingginya inflasi.
Penyebab lain yang mendorong kenaikan harga datang dari faktor eksternal. Piter menjelaskan kenaikan harga pangan dan energi di tingkat global telah merembes kepada pasar domestik. Tidak hanya harga pangan yang melonjak, imported inflation telah melambungkan harga barang industri seperti besi hingga baja.
Sebagaimana diketahui, perang Rusia-Ukraina melambungkan harga energi dan pangan di tingkat global karena kedua negara tersebut merupakan pemasok utama komoditas pangan dan energi.
"Faktor-faktor ini saling mendukung sehingga naiknya semua bersamaan. Ekspektasi kenaikan inflasi juga akhirnya melonjak," imbuh Piter.
Piter menjelaskan kenaikan harga yang ditimbulkan naiknya permintaan menjelang Lebaran akan mereda begitu Lebaran pada 2 Mei mendatang usai. Namun tidak demikian dengan inflasi yang disebabkan faktor eksternal karena perang Rusia-Ukraina.
"Kalau inflasi yang disebabkan kenaikan harga global itu bisa lama. Yang akan bertahan lama itu yang riil dari kenaikan harga komoditas. Ini akan tetap tinggi karena komoditas tersebut menjadi bahan baku juga," ucapnya.
Kenaikan harga barang-barang yang terjadi pada tahun ini diperkirakan akan mengantarkan Indonesia kembali kepada periode inflasi tinggi. Padahal, dalam dua tahun terakhir, inflasi di Indonesia selalu berada di bawah 2%.
Dalam lima tahun terakhir (2017-2021), rata-rata inflasi Indonesia ada di kisaran 2,62%. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata inflasi lima tahun sebelumnya (2012-2016) yakni 5,48%.
Dalam skenario terburuk, CORE memperkirakan inflasi bisa melambung lebih dari 5,5% pada tahun ini. Inflasi di level tersebut dengan memperhitungkan bahwa pemerintah menaikkan harga Pertalite, gas Elpiji 3 kg, serta tarif dasar listrik.
Skenario moderat CORE memperkirakan inflasi akan bergerak di kisaran 4-4,5%. Skenario tersebut mempertimbangkan tidak adanya kenaikan Pertalite, Elpiji 3 kg, dan tarif dasar listrik. Skenario paling optimis CORE adalah inflasi akan berada di kisaran 3-4%.
"Tapi sangat kecil kemungkinannya ada di bawah 4%. Tidak ada kenaikan Pertalite, Elpiji 3 kg, dan tarif dasar listrik pun inflasi akan berpotensi (bergerak ke) maksimum," tutur Piter.
Chief Economist BCA David Sumual dan Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta dalam Power Lunch, CNBC Indonesia mengatakan salah satu kenaikan harga barang pada sebulan terakhir adalah karena banyak produsen dan pedagang yang memanfaatkan momen kenaikan PPN untuk menaikkan harga.
"Kebanyakan pengusaha juga menggunakan momentum kenaikan PPN untuk menaikkan harga karena memang sebenarnya mereka sudah menahan harga walaupun dari sisi biaya sudah meningkat," tutur David.
Lebaran juga menjadi momen sejumlah industri untuk menaikkan harga karena industri tersebut sudah menahan harga dalam waktu lama. "Lebaran permintaan tinggi dan beberapa industri menyesuaikan harga," tutur Tutum.
Kepala BPS Margo Yuwono mengingatkan inflasi akan tinggi dalam dua bulan mendatang. Dia berharap pemerintah bisa menjaga stabilitas harga karena inflasi tinggi bisa menimbulkan dampak buruk. Di antaranya adalah penurunan daya beli menekan konsumsi masyarakat, mengganggu pertumbuhan ekonomi, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]