Gara-gara Indonesia, Harga Shampoo di India Bisa Naik!

Maesaroh, CNBC Indonesia
26 April 2022 12:40
Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya yang dilakukan Indonesia akan berdampak besar terhadap sejumlah negara seperti India dan Pakistan. Perusahaan multinasional seperti Nestle hingga Unilever pun akan terimbas karena mereka menggunakan produk turunan sawit seperti minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia dalam jumlah besar.

Dengan total ekspor mencapai 33,67 juta ton pada tahun 2021, Indonesia merupakan eksportir terbesar CPO dan terbesar ketiga untuk minyak nabati di dunia. Kontribusi CPO Indonesia dalam total ekspor minyak nabati global diperkirakan mencapai 60%.

CPO menjadi pilihan banyak negara bukan hanya untuk menjadi bahan dasar minyak goreng tetapi juga dimanfaatkan sebagai campuran produk kue, kosmetik, hingga deterjen.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 11 negara yang menjadi pasar terbesar CPO Indonesia adalah China, India, Pakistan, Amerika Serikat (AS), Bangladesh, Malaysia, Mesir, Spanyol, Myanmar, Rusia, Filipina, dan Vietnam. Total nilai ekspor ke-11 negara tersebut menembus US$ 26,67 miliar tahun lalu. Sementara itu, nilai ekspor Januari-Maret 2022 ke-11 negara sudah menyentuh US$ 6,15 miliar.


Secara nilai dan volume, China merupakan importir terbesar CPO Indonesia disusul dengan India. Namun, pada Januari-Maret 2022, India menjadi importir terbesar untuk Indonesia. India mengimpor CPO Indonesia senilai US$ 6,15 miliar. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat US$ 5,78 miliar.

Dilansir dari The Economic Times, Indonesia memasok sekitar 50% kebutuhan impor CPO untuk India sementara untuk Pakistan dan Bangladesh angkanya lebih tinggi lagi yakni 80%.

"Kebijakan Indonesia untuk melarang ekspor CPO tidak hanya mempengaruhi ketersediaan CPO tetapi juga minyak nabati di seluruh dunia," tutur James Fry, dari konsultan komoditas LMC International, seperti dikutip dari Reuters.

Selama 2021, India mengimpor 3 juta ton CPO dengan nilai menembus US$ 3,28 miliar. Pada Januari-Maret, nilai ekspor India tercatat US$ 997,4 juta melonjak dari periode yang sama tahun 2021 yakni US$ 757,3 juta.

Ekspor terbesar India pada tahun lalu terjadi pada bulan Agustus. Pada Agustus 2021, India mengimpor CPO sebesar 958,5 ribu ton. Besarnya impor disebabkan adanya penurunan bea impor untuk minyak nabati serta persiapan perayaan Diwali.

The Economic Times menyebut kebijakan larangan ekspor CPO yang dilakukan Indonesia bisa mendongkrak harga kue, mie, sabun hingga shampoo di India hingga 8-10%. Peran produk CPO dan turunannya terhadap basket ongkos input perusahaan consumer goods di India diperkirakan mencapai 20%.


BusinessToday melaporkan larangan ekspor yang dilakukan Indonesia juga akan berdampak besar terhadap pelaku industri Fast Moving Consumer Goods (FMCG) seperti Unilever, Nestle, Proctor & Gamble, hingga Mondelez International.

Pada 2016, Unilever India menyebut mereka menggunakan 1 juta ton CPO dan produk turunannya untuk produk mereka sementara Nestle menggunakan 453 ribu ton CPO dan turunannya. Proctor & Gamble menggunakan 605 ribu ton CPO dan turunannya pada 2021.

L'oreal dikabarkan menggunakan 310 ribu ton CPO dan 71 ribu produk turunan CPO pada tahun 2021. Sebagian besar CPO dan produk turunannya yang digunakan diimpor dari Indonesia dan Malaysia.

Produsen CPO DuniaSumber: Statista

Menanggapi larangan ekspor CPO yang dilakukan Indonesia, Badan industri nasional minyak goreng India (SEA) meminta pemerintah India untuk melobi Indonesia melalui jalur government to government (G2G) untuk menyelesaikan persoalan larangan ekspor.

Pasalnya, sulit bagi India untuk menemukan pemasok baru dalam waktu cepat mengingat Malaysia sebagai eksportir CPO terbesar kedua di dunia juga masih mengalami kesulitan pasokan. Sebagai catatan, ekspor CPO Malaysia pada 2021 mencapai 15,56 juta ton, lebih rendah dibandingkan tahun 2020 (17,40 juta ton).

"Kami berharap ada dialog antara Indonesia dan India. Ini akan menjadi langkah mundur yang sangat serius bagi pasar domestik kita karena setengah dari impor CPO kita dari Indonesia dan tidak ada satupun negara yang mampu mengisi kekosongan itu" tutur direktur jenderal SEA B V Mehta, seperti dikutip dari The Economic Times.

Mehta menjelaskan larangan ekspor CPO ini lebih berat daripada keputusan Indonesia untuk menaikkan pungutan ekspor CPO, pada pertengahan Maret lalu. Setiap tahun, India mengkonsumsi 22,5 juta ton edible oil (minyak yang dijadikan bahan pangan) sementara kemampuan dalam negeri hanya mampu menyuplai 9-9,5 juta ton sehingga sisanya impor.

Pakistan juga akan mengalami persoalan dari larangan ekspor CPO yang dilakukan Indonesia. Pada 2020, impor CPO Pakistan mencapai US$ 2,15 miliar. Indonesia menjadi pemasok utama terbesar disusul kemudian dengan Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Kamboja.

Hilangnya pasokan CPO Indonesia membuat Pakistan harus memutar otal untuk mencari pengganti dalam waktu cepat di tengah tingginya permintaan selama Ramadan.

Sementara itu, Bangladesh mengimpor US$ 2 miliar CPO dan minyak kedelai pada tahun 2020 dengan volume 1,4 juta ton. Indonesia memasok lebih dari 70% sementara Malaysia 25%. Konsumsi edible oil Bangladesh mencapai 2 juta ton tetapi hanya 0,2 juta ton yang mampu dipenuhi kebutuhan lokal. 

Komisi Tarif dan Perdagangan Bangladesh (BTCC) mengusulkan agar pemerintah menurunkan bea impor minyak nabati untuk kanola, bijih matahari dan minyak zaitun dari 32% menjadi 10%. Bangladesh juga tengah mencari pemasok lain untuk menggantikan Indonesia, seperti Kanada, Amerika Serikat, China, dan Malaysia untuk membeli pasokan minyak nabati.


Langkah-langkah tersebut diharapkan bisa mengurangi gejolak dari kekosongan pasokan yang ditinggalkan CPO indonesia.


Dapertemen Pertanian Amerika Serikat (AS) meminta negara-negara penghasil minyak nabati dunia untuk lebih bekerja sama dalam memastikan pasokan di tengah kecamuk perang. Pasalnya, harga komoditas pangan sudah melonjak tajam menyusul invasi Rusia ke Ukraina.

Di luar Indonesia, negara lain yang membatasi ekspor untuk menjaga harga di dalam negeri adalah Argentina. Argentina yang berstatus sebagai eksportir utama kedelai memangkas setengah porsi ekspor di pertengahan Maret dan kemudian menaikkan pajak ekspor hingga 33% dari 31%.

Sebagai informasi, Rusia dan Ukraina merupakan salah satu pemasok besar untuk minyak bijih matahari. Perang kedua negara membuat pasokan global minyak nabati menyusut dan melambung harganya. Keputusan Indonesia untuk melarang ekspor CPO mulai 28 April dipastikan semakin membuat harga komoditas minyak nabati melambung.

Direktur Perdagangan, Perindustrian, Komoditas dan Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Yudi Triantoro mengatakan sejauh ini belum ada surat keberatan atau notifikasi keberatan dari negara lain terkait larangan ekspor CPO yang dilakukan Indonesia.

"Kita belum dengar ada keberatan dari negara mitra, yang bisa saja disampaikan via perwakilan kita di luar negeri atau kedubesnya di Jakarta. Kemlu tentunya akan monitor," tutur Yudi, kepada CNBC Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular