
Vaksinasi Jadi Biang Keladi Covid-19 China Terus Meledak?

Jakarta, CNBC Indonesia - Berbeda dengan banyak negara sudah mulai transisi pandemi ke endemi Covid-19, China masih berkutat dengan penguncia atau lockdown ketat. Ini akibat kasus corona yang kembali melonjak di negara tersebut.
Bahkan kemarin, Kamis (21/4/2022), otoritas Shanghai yang seharusnya melonggarkan lockdown, batal melakukan itu. Hal ini karena kasus Covid-19 bergejala yang belum turun di pusat keuangan China itu.
China memang mengklasifikasi kasus corona sebagai bergejala dan tidak. Khusus kasus bergejala mencapai, kota itu mencatat kenaikan dari 2.634, dari sehari sebelumnya 2.494.
Sementara, kasus tak bergejala di Shanghai adalah 15.861. Ini turun dari 16.407 sehari sebelumnya.
"Supermarket akan tetap tutup untuk pembeli, kendaraan tidak akan diizinkan di jalan tanpa persetujuan, dan hanya satu orang dari setiap rumah tangga akan diizinkan meninggalkan rumah setiap hari di beberapa kota di Chongming," kata wakil gubernur Zhang Zhitong kepada Reuters.
"Bagi mereka yang berada di area pencegahan, kami harus terus memastikan bahwa mereka tidak menjadi area yang bebas dimasuki."
Memang selama beberapa hari di dua pekan terakhir, kasus Covid-19 China jika digabungkan mencapai 20.000 infeksi baru. Bahkan 10 kematian juga terdeteksi selama pekan ini.
Lalu apa yang menyebabkan kenaikan kasus Covid-19 di China?
Sebenarnya Covid-19 China menyebar massif karena varian corona Omicron. Masuknya subvarian BA.2 (anak Omicron) juga membuat kasus makin melejit.
Negara ini juga melaporkan mendeteksi subvarian Omicron BA.1.1. Bukan hanya itu, soal vaksin dan vaksinasi juga kemungkinan menjadi penyebab lain.
Merujuk Science.org, vaksin Covid yang sudah diberikan di China memang telah diperbarui untuk memerangi Omicron dan strain lainnya. Berbeda dengan barat yang menggunakan vaksin jenis messenger RNA (mRNA), rata-rata vaksin yang dibuat seperti Sinovac, Sinopharm, dan CanSino, merupakan vaksin virus yang tidak aktif.
Sebuah studi terbaru oleh kelompok HKU memberikan beberapa kepastian tentang kurang efektifnya vaksin yang digunakan di China, yang belum mengizinkan mRNA. Tim menemukan bahwa dua suntikan mRNA memiliki efektivitas yang lebih tinggi daripada vaksin tidak aktif Sinovac-CoronaVac di antara orang dewasa berusia 60 dan lebih tua, meski tiga dosis vaksin menawarkan perlindungan yang sangat baik terhadap penyakit parah dan kematian.
Wakil Direktur Komisi Kesehatan Nasional, Zeng Yixin, juga mengatakan pada konferensi pers Maret lalu bahwa di antara mereka yang berusia 80-an, baru 50% lebih yang mendapat dua suntikan dan hanya 19% yang menerima booster. Airfinity -perusahaan analisis kesehatan berbasis di London- mengatakan hampir 19% orang China di atas usia 60 tahun tidak divaksinasi pada pertengahan Maret.
Dengan ini, dapat dikatakan tingkat vaksinasi pada orang tua di China rendah. Menurut Airfinity, jika Omicron menyebar ke seluruh China, itu bisa menyebabkan 1 juta kematian dalam tiga bulan.
Merujuk negara lain seperti Australia, Selandia Baru, dan Singapura, negeri-negeri itu bisa keluar dari strategi "nol Covid" setelah angka vaksinasi manula sangat tinggi. Yang belum divaksin masing-masing hanya 1,2%, 0,6%, dan 0,4% dari populasi di atas 60 tahun.
Sebelumnya WHO sendiri mengaku tengah memantau ketat China, terkait kenaikan kasus. WHO melihat ada beberapa aspek yang dilihat mulai dari varian, vaksin, vaksinasi dan kondisi lapangan.
(tfa/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tok! Maroko Resmi Tolak Masuk Pelacong Asal China