Harga Batu Bara Melejit, Ini Usulan Faisal Basri Biar RI Cuan
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior Faisal Basri menilai tidak keberatan dengan kebijakan pemerintah yang ingin mengerek setoran atau tarif royalti dari sektor batu bara. Terutama di tengah kenaikan harga batu bara yang masih berada di atas US$ 300 per ton saat ini.
Namun demikian, dia menilai bahwa sistem royalti batu bara memiliki penyakit tersendiri. Misalnya, jika batu bara digunakan untuk proyek hilirisasi menjadi Dimetyl Eter (DME) atau gasifikasi batu bara, maka penerimaan ke daerah menjadi nol.
"Kalau batu bara dijadikan DME untuk gasifikasi batu bara royaltinya nol, itu salah satu kelemahannya," kata Faisal Basri dalam Closing Bell CNBC Indonesia Rabu, (20/04/2022).
Oleh sebab itu, ia menyarankan supaya sebaiknya pemerintah dapat menerapkan pajak ekspor batu bara yang nantinya lebih menguntungkan bagi Indonesia. Pasalnya, dengan pajak ekspor progresif 50% dengan harga batu bara saat ini, negara berpotensi meraup uang sebesar Rp 200 triliun lebih.
"Sehingga rakyat ikut menikmati lewat pemerintah dengan adanya windfall ini. Bukan pengusaha saja, ini kan cuma keruk saja, ini milik negara kok manfaatnya 70%-100% dinikmati pengusaha yang bener saja," katanya.
Untuk diketahui, pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara. Aturan ini ditujukan supaya setoran atau tarif royalti batu bara untuk negara meningkat, di tengah harumnya harga komoditas itu.
Sebelumnya, Pelaksana Harian Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno meminta agar aturan ini dapat berlaku bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai kelanjutan operasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) serta Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Pasalnya, menurut Djoko di saat ini dan masa lalu pemerintah selalu membedakan antara jenis izin usaha tambang. Misalnya saja dari Pajak Badan generasi I paling tinggi ditetapkan sebesar 45%, kemudian generasi II 35%. Sementara IUP hanya dikenakan Pajak Badan jauh lebih rendah.
"Sekarang PNBP PKP2B kena 28%, IUP 7%,5%,3%, jadi di sinilah ketimpangannya, tambah lagi kena DMO, diharga US$ 70 per ton, HBA US$ 100," kata dia kepada CNBC Indonesia, Rabu (20/2/2022).
Djoko menilai selama ini pemerintah tidak pernah menurunkan royalti atau PNBP dari sektor batu bara sekalipun harga komoditas ini mengalami penurunan. Kondisi ini menurut Djoko akan membuat ketidakpastian hukum dan tidak adanya jaminan untuk berusaha.
Sehingga akan memperberat investasi di sektor batu bara. Apalagi, pendanaan untuk sektor ini juga telah dibatasi dengan adanya isu baru yakni pengembangan energi bersih, emisi gas rumah kaca dan yang menyangkut mengenai lingkungan.
"Sebagai pertimbangan perbedaan lebih tinggi 14 sampai 15% PNBP dibanding masa lalu hanya 13,5% royalti/PNBP, berarti naik 200%, pasti akan menggerus keuntungan pengusaha," kata dia.
(pgr/pgr)