Setoran Royalti Batu Bara Progresif, Faisal Basri Kurang Sreg

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
21 April 2022 15:05
Faisal Basri: Bukan Royalti, Pajak Ekspor Progresif Batu Bara Lebih Pas (CNBC Indonesia TV)
Foto: Faisal Basri: Bukan Royalti, Pajak Ekspor Progresif Batu Bara Lebih Pas (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom Senior Faisal Basri kurang sreg dengan penerapan perubahan setoran royalti batu bara yang terbaru, yang tertuang dalam PP 15 tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara.

Faisal Basri lebih memilih jika pemerintah menerapkan pajak ekspor batu bara ketika harga batu bara sedang tinggi-tingginya. Hal itu, akan lebih memiliki dampak langsung pada penerimaan negara.

Seperti yang diketahui, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) baru saja menerbitkan aturan berupa pengenaan royalti berjenjang atau progresif. Pengenaan royalti progresfi mengikuti perkembangan Harga Batu Acuan (HBA).

Faisal Basri mengatakan, di tengah harga batu bara yang sedang tinggi, tentunya negara ingin mengambil sebagian dari rezeki nomplok dari sektor emas hitam ini bagi rakyat Indonesia. "Royalti ini konsepnya agak unik tapi seharusnya kembali ke daerah. Jadi harusnya yang dikenakan bukan royalti tapi pajak ekspor," ungkap Faisal Basri kepada CNBC Indonesia dalam Closing Bell, Rabu (20/4/2022).

Adapun pajak ekspor yang dimaksud adalah seperti pajak ekspor sawit. Dia menyarankan, pajak ekspor batu bara progresif ini bisa dikenakan sebesar 50%. Faisal Basri mencatat negara kira-kira bisa mendapatkan tambahan penerimaan negara Rp 200 triliun lebih dari harga batu bara yang tinggi seperti saat ini.

Sebagaimana diketahui, dalam aturan terbaru setoran royalti diberikan secara progresif berdasarkan harga batu bara acuan. Contohnya adalah ketiga HBA kurang dari US$ 70 per ton, tarif royalti yang akan dikenakan adalah 14%. Sementara apabila HBA lebih dari US$ 100 per ton, tarif royalti mencapai 28%.

Dari hal itu, kata Faisal Basri, tingginya harga batu bara saat ini tidak bisa dinikmati oleh negara. Alasannya, ketika kenaikan harga batu bara tiga kali lipat. Namun royalti hanya dipungut tipis.

"Memang Pemerintah takut sekali dengan oligarki batu bara ini yang ada di lingkaran kekuasaan itu. Pendapat mereka (pengusaha) jadi luar bisa besarnya untuk apapun yang bisa mereka lakukan termasuk menentukkan Presiden dan Wakil Presiden. Itu yang harus kita lawan," ungkap Faisal Basri.

Sebelumnya, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Lana Saria mengatakan, pelaksanaan ketentuan PP 15/2022 akan diterapkan kepada IUPK yang diterbitkan sebelum tahun diundangkannya PP ini maka wajib melaksanakan ketentuan dalam PP ini sejak 1 Januari 2022.

Sementara. "IUPK yang diterbitkan bersamaan dengan tahun diundangkan PP ini, maka wajib melaksanakan ketentuan dalam PP ini akan berlaku pada tahun berikutnya (1 Januari 2023)," terang Lana dalam Konfrensi Pers, Senin (18/4/2022).

Sejatinya dalam PP 15/2022 ini, pemerintah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap perusahaan pertambangan batu bara. Khususnya untuk IIUPK hasil dari perubahan PKP2B baik PKP2B generasi 1 dan PKP2B generasi 1 plus.

Lana Saria mengatakan, yang membedakan yang PKP2B Generasi 1 dan Generasi 1 Plus yaitu ada pada aturan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Contoh, untuk PKP2B Generasi 1 dan Generasi 1 Plus, tarif PNBP-nya memang sama-sama dikenakan 13,5%, namun yang membedakan adalah pengenaan pajaknya. Pajak PKP2B Generasi 1 mencapai 45% sesuai kontrak/perjanjian, sementara Generasi 1 Plus pajaknya bersifat prevailing law atau mengikuti aturan yang berlaku.

"Jadi, sekarang PPh Badan sudah dikunci di 22%, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini," ucapnya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Batu Bara Melonjak Jadi US$ 188 per Ton, Ini Pemicunya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular