Cerita Sri Mulyani Dicurhatin Menkeu G20 Pusing Gegara Perang
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah berada di Washington DC, Amerika Serikat untuk menghadiri pertemuan Menteri Keuangan G20 dan spring meeting IMF-Worldbank.
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani bertemu dengan beberapa Menteri Keuangan dari negara lain, seperti India, Afrika Selatan dan Brasil serta lainnya.
"Ini Menkeu-menkeu mereka sampaikan kalau tertekan karena kenaikan harga energi dan pangan," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (20/4/2022)
Situasi ini dikarenakan perang Rusia dan Ukraina yang mendorong lonjakan harga komoditas internasional dan pangan. Sehingga menyebabkan inflasi meningkat jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan.
"Inflasi diharapkan turun malah justru meningkat. Ini kondisi terjadi di seluruh negara," ujarnya.
Maka dari itu banyak negara yang kemudian melakukan pengetatan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan. Seperti yang sudah dilakukan oleh Amerika Serikat (AS), Brasil dan Meksiko.
"Negara-negara G20 melakukan kenaikan suku bunga dan pengetatan moneter, dalam bentuk kenaikan suku bunga," pungkasnya.
Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi atas pertumbuhan ekonomi. Bahkan untuk 2023 mendatang, IMF memperkirakan ekonomi dunia akan mendekati resesi.
Hal ini tertulis dalam ringkasan laporan IMF yang bertajuk World Economic Outlook: War Sets Bank The Global Recovery, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (19/6/2022)
Pada 2022, ekonomi dunia diperkirakan hanya mampu tumbuh 3,6% lebih dari yang sebelumnya diramal 3,8%. Sedangkan 2023 akan menjadi lebih buruk karena ekonomi diperkirakan tumbuh 0,8-0,2%
Buruknya ramalan tersebut disebabkan oleh perang Rusia dan Ukraina yang hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaian.
Padahal kedua negara tersebut, berperan besar pada perekonomian dunia. Terutama dalam pasokan minyak dan gas bumi. Ini sekaligus memberikan pengaruh terhadap sederet harga komoditas internasional yang kini sudah melonjak. Perang juga berdampak pada kenaikan harga pangan internasional.
Situasi ini mengkerek kenaikan inflasi di berbagai negara. IMF memperkirakan inflasi pada negara maju 5,7% dan 8,7% pada negara berkembang untuk 2022.
Bagi negara maju dan berkembang dengan fiskal yang kuat, mampu memberikan subsidi atau bantalan untuk menjaga daya beli masyarakat. Akan tetapi negara lain dengan fiskal terbatas tak mampu berbuat banyak.
Apalagi ada sebagian negara kini sudah terjerat utang besar saat pandemi covid-19. Sehingga tidak memiliki ruang anggaran yang cukup untuk melunasi cicilan utang atau membantu masyarakat.
(mij/mij)