
Horor War-Cession

Jakarta,CNBC Indonesia - Perang Rusia-Ukraina sudah berlangsung lebih dari 40 hari. Kemungkinan perang ini bakal berkepanjangan sehingga menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian dunia.
Di aspek ekonomi, posisi Rusia dan Ukraina yang strategis di pasar komoditas dunia menjadi risiko tersendiri. Minyak bumi, gas alam, batu bara, gandum, bijih bunga matahari, sampai kedelai banyak datang dari kedua negara itu.
Perang tentu membuat produksi dan distribusi terhambat. Belum lagi Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Larangan ekspor minyak dan batu bara adalah contohnya, membuat pasokan di pasar global semakin ketat.
Hasilnya terang-benderang. Harga komoditas melambung tinggi.
Akibatnya, tekanan inflasi tidak bisa terhindarkan. Di sejumlah negara, laju inflasi sudah menyentuh rekor tertinggi baru.
Sepanjang perang masih meletus, sepanjang sanksi terhadap Rusia belum dicabut, sepanjang produksi dan distribusi komoditas masih terhambat, maka harga komoditas tetap akan tinggi sehingga melahirkan tekanan inflasi.
Dibayangi oleh risiko tersebut, pertumbuhan ekonomi tentu bakal melambat. Wajar, karena inflasi tinggi tentu menggerus konsumsi dan daya beli, yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Pada gilirannya nanti, harga barang dan jasa yang melambung tinggi akibat kenaikan harga komoditas bahan baku membuat pertumbuhan ekonomi menjadi melambat. Namun ini bukan resesi. Sebab, resesi ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat tetapi inflasi juga rendah.
David Roche, Presiden Independent Strategy, punya istilah lain untuk situasi semacam ini. Roche menyebutnya war-cession.
Seperti apakah sebenarnya war-cession? Apa saja ciri-cirinya? Apakah ciri-ciri itu sudah dialami oleh Indonesia?
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai horor war-cession, silakan menikmati Laporan Khas Tim Riset CNBC Indonesia berikut ini.
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Putin Panas! Rusia Siap 'Perang' dengan AS & Eropa, Kenapa?