x


PPertempuran dengan pengerahan pasukan terbesar di tanah Eropa sejak Perang Dunia II ini memakan hampir 2.000 korban jiwa. Per 9 April 2022, sudah 1.932 orang kehilangan nyawa. Dari jumlah tersebut 157 di antaranya adalah anak-anak.

Selain korban jiwa, perang ini juga menimbulkan konsekuensi ekonomi. Paling mencolok adalah kenaikan harga berbagai komoditas baik itu migas, tambang, hingga pangan.

Maklum, Rusia dan Ukraina merupakan produsen utama sejumlah komoditas. Ambil contoh  minyak.

Rusia adalah salah satu produsen minyak utama dunia. Perang tentu menyebabkan produksi dan distribusi minyak terhambat.

Selain itu, serbuan ke Ukraina juga membuat Rusia terkena sanksi ekonomi. Amerika Serikat (AS) sudah melarang impor minyak dari Negeri Beruang Merah. Negara-negara Eropa pun tengah mempertimbangkan kebijakan yang sama.

Minyak masih menjadi sumber utama energi primer dunia. Pada 2019, 84,3% konsumsi energi dunia adalah energi fosil. Dari jumlah tersebut, 33,1% di antaranya adalah minyak.

Saat minyak masih menjadi sumber energi utama dan harganya mahal, tentu menjadi masalah tersendiri. Warga dunia kini harus membayar energi dengan lebih mahal.

Indonesia, misalnya. PT Pertamina (Persero) telah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax per 1 April 2022. Kini BBM tipe RON 92 itu dijual dengan harga berkisar Rp 12.500-13.000/liter.

Hasilnya, ‘tsunami’ inflasi melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Bank Indonesia (BI) melalui Survei Pemantauan Harga (SPH) memperkirakan inflasi tahunan pada April 2022 bisa mencapai 3,2% yoy. Jika terwujud, maka akan menjadi yang tertinggi sejak November 2018.

Pada gilirannya nanti, harga barang dan jasa yang melambung tinggi akibat kenaikan harga komoditas bahan baku membuat pertumbuhan ekonomi menjadi melambat. Namun ini bukan resesi. Sebab, resesi ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat tetapi inflasi juga rendah.

David Roche, Presiden Independent Strategy, punya istilah lain untuk situasi semacam ini. Roche menyebutnya war-cession.

Dalam resesi yang biasanya, output ekonomi dan permintaan turun, inflasi pun rendah. Namun sekarang, yang bisa dibilang war-cession, output ekonomi turun tetapi pada saat yang sama biaya dan inflasi malah naik,

by David Roche, Presiden Independent Strategy

Seperti apakah sebenarnya war-cession? Apa saja ciri-cirinya? Apakah ciri-ciri itu sudah dialami oleh Indonesia?

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai horor war-cession, silakan menikmati Laporan Khas Tim Riset CNBC Indonesia berikut ini.



Dalam sejarah modern, perang jadi “penyelamat” negara maju dari jurang resesi. Perang Dunia II, misalnya, membantu memutar ekonomi Amerika Serikat (AS) hingga bangkit dari Depresi Akbar 1932. Namun, tahun ini ini ceritanya justru berbalik.

Pada 4 Maret 1929, Herbert Hoover berjanji “menumpas kemiskinan dari bangsa ini—atas seizin Tuhan” ketika dilantik sebagai presiden AS. Namun, 7 bulan kemudian Petaka Selasa terjadi yakni anjloknya Wall Street. AS pun jatuh ke resesi ekonomi dan kemiskinan merajalela.

Lalu pada 1931, Depresi Akbar pun terjadi hingga Franklin Delano Roosevelt dilantik menjadi presiden AS ke-32. Berbarengan dengan program New Deal yang dijalankan, AS membangun armada perang dengan dana US$ 752 juta pada 1932 di tengah kian meningkatnya polarisasi dunia yang memicu bangkitnya kaum ultrakanan Nazi Jerman (1933).

Ekonom dunia percaya Perang Dunia II membantu menstimulasi perekonomian. Efek Depresi Akbar di Inggris resmi hilang pada 1937, sementara efek di AS sepenuhnya hilang pada 1941 dengan membaiknya angka pengangguran ke bawah 10% (dari sebelumnya 25%).

Sumber : Measuringworth

Mereka yang berpendapat demikian misalnya John Kenneth Galbraith yang bertugas mengontrol harga barang AS pada masa itu, dan ekonom AS Christina D. Romer dalam makalah berjudul “Ending of The Great Depression” di The Journal of Economic History (1992).

Suplai uang di AS tercatat melonjak setelah Perang Dunia II pecah di Eropa pada 1936, yang memicu pelarian modal dari Eropa ke AS. Pada tahun yang sama, AS menggelontorkan bonus bagi veteran yang memicu konsumsi mereka sehingga menjadi stimulus bagi ekonomi.

Namun tahun ini situasi justru berbalik. Perang dinilai bukan menjadi penyelamat ekonomi negara maju (dan dunia) dari resesi, melainkan justru memicu resesi baru, yang bernama War-cession, menurut Perencana Investasi David Roche sebagaimana dikutip CNBC International.

Resesi ekonomi terjadi ketika produk domestik bruto (PDB) sebuah negara terkontraksi alias minus selama lebih dari dua kuartal fiskal beruntun yang disertai dengan penurunan lapangan kerja, konsumsi turun, sehingga inflasi rendah. Intinya, semuanya melesu.

Foto : CNBC Indonesia

Sementara itu, 'war-cession' terjadi bukan karena dipicu oleh buruknya fundamental ekonomi melainkan karena situasi darurat (force majeur), di mana pasokan komoditas penting dunia anjlok di pasar dunia akibat perang, sehingga harga meroket dan inflasi meninggi

Presiden Independent Strategy tersebut menilai situasi akan memburuk karena dampak konflik Ukraina mengglobal—berbeda dari konflik sebelumnya seperti invasi AS terhadap Irak, Libya, dll yang efek buruknya terhadap perekonomian bisa terisolir.

Sanksi Perburuk Keadaan

Kali ini, seluruh dunia kena getahnya karena ada sanksi yang dijatuhkan Negara Barat terhadap Rusia, yang justru memperburuk keadaan ekonomi mereka sendiri. Presiden Rusia Vladimir Putin pun bukan tipikal pemimpin negara dunia ketiga yang tak bisa melawan sanksi tersebut.

Dia tak akan menegosiasikan penarikan mundur pasukan demi mendapatkan keringanan sanksi, sehingga sanksi-sanksi tersebut masih akan berlaku dan menurut saya implikasinya bagi Eropa adalah anda akan melihat resesi, karena sanksi akan terus bertambah dan menuju blokade ekonomi secara penuh

by Roche

Inilah poin pembeda konflik Ukraina ini, di mana perang memicu kelangkaan pasokan komoditas utama dunia. Efek inflatoir dari disrupsi rantai pasok energi dan komoditas pangan dunia akibat perang kini berlipat ganda dengan efek politik berupa sanksi yang dikenakan atas produk Rusia—yang sayangnya sangat krusial untuk memasok negara maju.

Sumber: Mirae Asset Sekuritas

Dalam resesi normal, produksi barang dan jasa serta permintaan masyarakat melemah, sehingga inflasi juga turun. “Di tengah resesi yang tengah kita hadapi kali ini, yakni 'war-cession,' anda akan melihat produksi anjlok sedangkan harga barang dan inflasi melonjak,” tutur Roche.

Dalam skenario war-cession yang berpeluang terjadi akibat perang Ukraina-Rusia, inflasi tinggi bakal terjadi yang menggerus daya beli masyarakat AS yang belum sepenuhnya pulih dari efek pandemi. Akibatnya, produksi menurun angka pengangguran tinggi, dan ekonomi stagnan. Istilahnya, stagflasi (stagflation) yang merupakan akronim dari kata stagnan dan inflasi.

Adalah Iain Macleod, Menteri Keuangan Inggris yang pertama kali memakai istilah stagflasi. Dalam pidatonya pada 1965 di parlemen, politisi Partai Konservatif ini menggunakan kata itu untuk menggambarkan inflasi tinggi yang dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi stagnan.

Kita sekarang mengalami sisi terburuk dari keduanya—bukan saja inflasi di satu sisi atau stagnasi di sisi lain, tetapi keduanya terjadi bersama-sama. Kita memiliki semacam situasi 'stagflasi,'

by Iain Macleod, Menteri Keuangan Inggris

Macleod memakai istilah itu lagi pada 1970 dan dikutip media ekonomi bisnis dunia seperti The Economist. Pada tahun yang sama, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) melakukan embargo hingga harga minyak mentah dunia naik empat kali lipat dari US$ 3/barel menjadi US$ 12/barel.

Pemicunya adalah dukungan AS-Inggris terhadap Israel di perang Yom Kippur yang membuat pemimpin Arab (saat itu) murka. Harga energi utama dunia ini kembali melonjak pada 1979 karena revolusi Iran yang diikuti perang Iran-Irak. Harga minyak melejit hingga US$ 30/barel.

Artinya, terjadi lonjakan harga hingga 10 kali lipat. Jika diibaratkan dengan harga minyak sekarang, maka lonjakan tersebut setara dengan kenaikan harga dari US$ 70/barel menjadi US$ 700/barel, yang terdengar muskil untuk terjadi.

Peluang Terulangnya Stagflasi

Namun jika ditelaah lebih jauh, ada kesamaan struktur yang kini terulang. Pada tahun 1970, minyak adalah energi utama dunia dengan porsi 46,7% dalam bauran energi global hingga efek kenaikan harganya signifikan mendongkrak inflasi dunia.

Sumber : BP Statistical Review of World Energy 

Kini, minyak hanya menyumbang 31% bauran energi dunia. Namun jika digabung dengan batu bara yang harganya kini juga meroket, ia menyumbang nyaris 60% bauran energi dunia. Faktanya, harga batu bara sepanjang 2022 naik dua kali lipat hingga menyentuh US$ 300/ton.

Lonjakan harga keduanya berpeluang memicu efek inflatoir yang lebih besar dari efek kenaikan harga minyak terhadap inflasi pada tahun 1970—yang memicu stagflasi akbar (great stagflation) di dunia. Terlebih, kita belum memasukkan kenaikan harga pangan—yang pada 1970 tak terjadi.

Perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung lebih dari 50 hari telah melambungkan harga komoditas pangan. Pasalnya, baik Rusia ataupun Ukraina sama-sama memegang kunci dalam rantai pasok global untuk komoditas pangan.

Ukraina dan Rusia memasok 30% gandum dunia, 17% jagung, dan 50% minyak bijih matahari. Perang tidak hanya mengakibatkan produksi terganggu tetapi juga menghambat pengiriman barang akibat rusaknya jalan, jembatan, serta sulitnya menuju pelabuhan.

Karena kondisi tersebut, harga biji-bijian diperkirakan melonjak 40% pada tahun ini. harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pun melonjak.

Rusia juga merupakan pemasok utama untuk komoditas aluminium, titanium, palladium dan nikel yang bereran besar dalam sektor industri. Negeri Beruang Merah ini juga menjadi pemasok utama minyak mentah dan batu bara dunia.

Sumber : Mirae Asset Sekuritas

Tidak heran, inflasi di negara-negara maju terus melambung. Inflasi AS per Maret tercatat 8,5% year-on-year (yoy), tertinggi sejak 1981. Inflasi Inggris tembus 7%, tertinggi sejak 1992. Sementara itu, inflasi Uni Eropa mencapai 7,5%.



Peringatan seputar ancaman war-cession terhadap prospek ekonomi nasional sebenarnya telah banyak didengungkan. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengingatkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga inflasi.

Pasalnya, Indonesia yang secara geografis sangat jauh dari Ukraina ternyata harus mengalami lonjakan inflasi. Inflasi Indonesia menyentuh 2,64% (YoY) di Maret tahun ini yang merupakan rekor tertinggi sejak April 2020 (2,67%).

Pengalaman masa lalu menunjukan inflasi Indonesia sangat rentan dengan gejolak krisis ekonomi global, selain kenaikan harga BBM. Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengingatkan kondisi buruk menimpa Indonesia jika gangguan supply chain di Eropa Timur.

Foto : Detikom

Terlebih, China sebagai pemasok utama sejumlah produk dunia juga memberlakukan lockdown besar-besaran sehingga menggganggu rantai pasok. Persoalan makin berat karena pemulihan ekonomi juga masih dibayangi risiko varian baru Covid-19

Sejauh ini, BI masih yakin inflasi Indonesia pada 2022 berkisar 2-4%, sekalipun harga barang dan jasa terus naik. "Kami masih confident inflasi masih bisa terjaga 2-4%," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo usai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Rabu (13/4/2022).

Laju inflasi Indonesia saat ini masih bisa terkendali karena bensin jenis Pertalite dan LPG 3 kilo gram disubsidi pemerintah, sehingga harganya tidak ikut melonjak. Perlu diketahui, pertalite dan gas LPG adalah produk bensin dan bahan bakar rumah tangga yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Bensin memiliki bobot 3,8% terhadap indeks harga konsumen (IHK), sementara bahan bakar rumah tangga memiliki bobot 1,85%. Meski bobotnya tidak sebesar makanan, keduanya terimbas langsung dengan harga komoditas dunia sehingga sangat sensitif terhadap inflasi Indonesia.

Jika pemerintah melakukan penyesuaian harga terhadap keduanya, maka inflasi dipastikan naik.

Oleh karena itu, Irman menyerukan pemerintah membuat sejumlah skenario untuk menghadapi war-cession. Skenario jangka pendek bisa dilakukan dengan membuat belanja negara lebih fleksibel serta menyusun prioritas belanja. Menurutnya, pemerintah sudah berpengalaman membuat belanja lebih fleksibel pada awal pandemi dan bisa dilakukan lagi tahun ini.

Sebagai catatan, pemerintah “mempermak” APBN 2020 dengan mengalihkan ratusan triliun rupiah belanja bukan prioritas untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional, terutama untuk sektor kesehatan dan perlindungan sosial.

Di saat ketidakpastian tinggi fleksibilitas tersebut penting agar dapat menyusun skala prioritas belanja. Jangan sampai defisit melebar tapi belanjanya lebih kepada alokasi yang baik untuk dikeluarkan tapi tidak urgent,

Optimalkan Berkah Komoditas!

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan pemerintah bisa memanfaatkan membaiknya penerimaan negara untuk memperbanyak bantuan perlindungan sosial sekaligus meredam inflasi. “Kenikan harga komoditas membuat pemerintah memiliki buffer dan dukungan untuk menjadikan APBN sebagai shock absorber,” tuturnya, dalam Macro Brief 1 April lalu.

Sebagai informasi, kenaikan harga komoditas telah melambungkan penerimaan negara.Sebagai contoh, penerimaan bea keluar pada Januari-Maret 2022 menembus Rp 10,71 triliun. Angka ini hampir dua kali lipat dari target di APBN 2022 yakni Rp 5,9 triliun

IMF -- Foto : Reuters

Dana Moneter Internassional (International Monetary Fund/IMF) memprediksi ekonomi Indoensia akan tumbuh 5,4% tahun ini, sementara proyeksi Bank Dunia sebesar 5,1% dan Asian Development Bank (ADB) memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2%.

Begitu juga dengan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati yang “meramal” ekonomi Indonesia bisa bertumbuh hingga 5,5%. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,7-5,5%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pembukaan kembali ekonomi dan “berkah” booming komoditas. Namun bak dua sisi mata uang, harga hasil alam dunia bisa mendorong inflasi Indonesia memanas seperti negara lainnya.

Saat ini memang belum terlihat Indonesia akan terpukul war-cession, yang gejalanya diawali dengan stagflasi. Mengutip Morgan Stanley, Indonesia sebenarnya memiliki mekanisme lindung nilai (hedging) natural untuk menghadapi ancaman stagflasi.

Sebagai eksportir komoditas primer, Indonesia akan mendapatkan berkah dari tren kenaikan harga komoditas global. Menurut studi Kementerian Keuangan, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel, penerimaan negara naik berkisar Rp 3,4 triliun-Rp 3,9 triliun.

Akan tetapi, jika harga energi naik terus, subsidi yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bisa jebol. Tiap US$ 1 kenaikan harga minyak, belanja negara diprediksi membengkak antara Rp 3 triliun-Rp 4 triliun. Jadi, kita mesti tetap waspada!

Bursa Bergejolak, Kejarlah Emas!

Lalu apa yang harus kita lakukan di tengah risiko war-cession? Warcession dan resesi bisa sama-sama berujung pada kontraksi ekonomi. Ketika itu terjadi, aset-aset berisiko akan rontok dalam jangka pendek, sementara aset aman (safe haven) akan menjadi buruan para investor

Normalisasi kebijakan moneter di negara maju bakal kian memicu ketidakpastian di pasar keuangan, sehingga bursa saham berpeluang bergerak volatil. Kondisi tersebut bisa membuat emerging market seperti Indonesia harus bersiap-siap dengan aliran modal keluar (outflow). Investasi portfolio sudah mencatatkan outflow sebesar US$ 1,3 miliar hingga 31 Maret 2022.

Sri Mulyani mengatakan di tengah ketidakpastian pasar keuangan, pemerintah akan lebih selektif dalam mencari sumber pembiayaan. Kenaikan inflasi global serta ketidakpastian akan meningkatkan cost of fund.

Dia mengingatkan apa yang dialami Sri Lanka menjadi pembelajaran pelajaran penting dalam mengelola utang. Negara di Asia Selatan ini kini dilaporkan default atau gagal membayar utang luar negerinya senilai US$51 miliar atau setara Rp732 triliun (asumsi Rp14.360/US$).

Sejauh ini untuk mengurangi eksposur eksternal, Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan lebih sumber alternatif seperti Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk membiayai defisit APBN.

Perry memastikan BI akan menjaga nilai tukar rupiah dan yield surat utang pemerintah. Kenaikan suku bunga acuan The Fed akan mendongkrak yield surat utang pemerintah Amerika Serikat (AS), yang membuat surat utang pemerintah Indonesia tertekan karena ditinggal investor.

Dia menegaskan BI hanya akan menaikkan suku bunga acuan jika inflasi mengkhawatirkan. Sejumlah bank sentral dunia sudah menaikkan suku bunga acuan mereka untuk meredam inflasi. The Fed bulan lalu menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bp). Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) bahkan sudah mengerek suku bunga acuan 3 bulan berturut-turut.

Perry mengingatkan BI tidak sembarangan dalam merespons inflasi. Dalam menentukan suku bunga acuan, BI hanya akan mempertimbangkan inflasi yang sifatnya fundamental, yang dicerminkan dengan inflasi inti.

Tekanan harga pangan dan energi tentu saja BI tidak akan merespons dampak pertamanya. Kami akan respons dampak rambatan, kalau berdampak ke fundamental inflasi yang indikatornya inflasi inti.

by Perry Warjiyo - Gunerbur Bank Indonesia

Sementara itu, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso meminta bank mempercepat pembentukan cadangan. Normalisasi kebijakan di negara maju serta hyper inflation akan mengganggu pertumbuhan ekonomi global.

Yang kami lakukan meminta kepada perbankan untuk percepatan pembentukan cadangan sehingga memiliki buffer yang cukup. Kita tahu ke depan tantangan tak mudah adanya perang Ukraina-Rusia, normalisasi kebijakan negara maju, dan juga adanya hyper inflasi global,

by Wimboh Santoso - Ketua OJK

Di tengah situasi demikian, emas menjadi aset yang paling diburu saat terjadi kontraksi ekonomi khususnya AS. Maklum saja, sebagai negara dengan nilai perekonomian terbeser di dunia, ketika kontraksi hingga resesi terjadi maka negara-negara lainnya akan ikut terseret.

Lihat saja bagaimana perekonomian Indonesia ikut melambat saat AS mengalami resesi.

Dengan kondisi tersebut, para pelaku pasar pun mengamankan kekayaannya dengan memborong emas. Alhasil, harga emas dunia pun selalu menguat saat Amerika Serikat mengalami resesi.  Negeri Sam sudah puluhan kali mengalami resesi, dan harga emas selalu menguat saat itu terjadi.

Dalam 8 kali resesi terakhir misalnya, harga emas mencatat penguatan sebanyak 7 kali. Pelemahan hanya terjadi pada saat AS mengalami resesi pada Juli 1990–Maret 1991, dengan pelemahan sebesar 2,34%.

Sementara ketika resesi terjadi pada periode November 1973–Maret 1975, harga emas meroket hingga lebih dari 76%. Saat terjadi krisis finansial global 2008 dan AS mengalami resesi pada Desember 2007–Juni 2009, logam mulia ini tercatat menguat 17,2%.

Namun seperti diketahui, meski sudah lepas dari resesi harga emas masih terus menanjak hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920/troy ons pada 6 September 2011.  Hal yang sama juga terjadi saat resesi 2020, di mana harga emas dunia mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072/troy ons pada 7 Agustus 2020.

Pada dua periode tersebut, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menerapkan kebijakan moneter ultra longgar dengan membabat habis suku bunga menjadi 0-0,25%, serta menerapkan program pembelian aset (quantitative easing/QE) jumbo.

Kebijakan tersebut menjadi “bahan bakar” emas untuk terus meroket dan memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa. Harga emas batangan di dalam negeri, termasuk produksi PT Aneka Tambang (Antam) Tbk pun akan ikut menguat

Bahkan, persentase kenaikannya bisa lebih tinggi ketimbang emas dunia jika nilai tukar rupiah mengalami pelemahan. Jika dalam situasi tak perang pun, harga emas menguat, apalagi jika situasi perang yang berlangsung sekarang terus berlarut dan memperparah keadaan.



Bagi AS, yang merupakan pengimpor (net importer) minyak, embargo terhadap minyak Rusia sama artinya menyakiti diri sendiri. Terhentinya pasokan minyak dari Rusia akibat kebijakan gegabah itu, bakal memicu supply shock di pasar minyak dunia, yang memicu kenaikan harga.

Harap diingat, Rusia adalah negara produsen minyak terbesar ketiga dunia. Dan secara bersamaan, ia juga menjadi pemasok minyak terbesar ketiga bagi AS. Menurut peribahasa, embargo minyak Rusia ibarat “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri” bagi AS.

Belum lagi jika kita bicara soal batu bara yang sudah meroket hingga mencetak level psikologis 300. Harga energi dunia yang membumbung tinggi bakal membuat ongkos transportasi meningkat, dan biaya listrik melambung.

Pelaku industri dan rumah tangga yang masih tertatih menuju pemulihan, kini kembali terpukul. Pabrik-pabrik akan mengurangi kapasitas produksi dan bahkan menghentikannya sementara jika beban energi kian mahal. Artinya, akan ada banyak pengangguran batu yang tercipta. Ekonomi pun terancam tak bertumbuh alias stagnan.

Bank dunia dalam laporannya memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 4,1% pada 2022, melambat dari 2021 sebesar 5,7%. Sementara itu, IMF meprediksi ekonomi dunia melambat ke 4,4% pada 2022.

Itu adalah prediksi lembaga “pelat merah” yang biasanya lebih optimsitis. Lembaga partikelir cenderung persimistis. Perusahaan analitik global Wood Mackenzie, misalnya, memprediksi ekonomi dunia akan melambat 2,5% tahun ini.

Menghadapi ancaman tersebut, Sri Mulyani memastikan bahwa APBN akan kembali dimanfaatkan sebagai penyeimbang sekaligus penopang perekonomian atau biasa disebut dengan shock absorber.

Perang geopolitik juga menyebabkan kerusakan supply chain terhadap komoditas penting manusia, yakni pangan. Pelajaran kita dalam mengelola APBN, perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban akan terus fleksibel namun fokus

by Sri Mulyani, Menteri Keuangan 

Dalam APBN 2022, belanja negara ditetapkan sebesar Rp 2.714,2 triliun sementara pendapatan Rp 1.846,1 triliun. Belanja perlindungan sosial digenjot senilai Rp 154,8 triliun yang merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional yang menyedot total anggaran Rp 414 triliun.

Anggaran perlindungan masyarakat di antaranya dipakai untuk pemberian bansos tunai kepada 10 juta Kepala Penerima Manfaat (KPM) masing-masing sebesar Rp 200 ribu selama 6 bulan

Dengan demikian, konsumsi masyarakat Indonesia diharapkan tetap terjaga seiring dengan pelonggaran mobilitas. Dengan kontribusi lebih dari dari 56%, konsumsi rumah tangga adalah kunci bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Sejumlah program subsidi diharapkan bisa mempertahankan daya beli sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Di satu sisi, betul bahwa perang Ukraina-Rusia memicu inflasi dunia dan membuat pemerintah harus berakrobat. Namun, satu hal penting yang membuat inflasi itu kian memburuk hingga naik kelas menjadi stagflasi (terutama bagi AS) adalah perang sanksi yang dilancarkan Blok Barat.

Foto : Detikom

Jadi, jika ingin menghindari risiko stagflasi agar tak menjangkiti dunia, sebenarnya kunci utamanya ada di tangan Presiden AS Joe Biden. Cukup metnarik kembali strategi ‘bumi hangus’ yang diberlakukannya lewat pemberian sanksi Rusia, maka amanlah ekonomi dunia

Jadi, jika ingin menghindari risiko stagflasi agar tak menjangkiti dunia, sebenarnya kunci utamanya ada di tangan Presiden AS Joe Biden. Cukup metnarik kembali strategi ‘bumi hangus’ yang diberlakukannya lewat pemberian sanksi Rusia, maka amanlah ekonomi dunia

Indonesia memiliki doktrin politik luar negeri yang cukup kuat untuk melakukan itu, yakni bebas aktif. Namun pertanyaan pentingnya: apakah pemimpin kita memiliki cukup nyali? Pasalnya, Blok Barat tentu tidak akan tinggal diam melihat Indonesia berbisnis seperti biasa dengan Rusia.

| Penulis/ Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia | Ilustrasi: Arie Pratama | Layout: Aristya Rahadian Krisabella | Photo: CNBC Indonesia, Detikom