
Tangkal Kebocoran, Penerapan Subsidi BBM Tertutup Mendesak!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis subsidi seperti halnya BBM RON 90 yakni Pertalite serta solar subsidi menjadi incaran masyarakat saat ini. Hal itu terjadi lantaran disparitas harga BBM subsidi dengan yang non subsidi seperti Pertamax terlalu jauh.
Akibat BBM subsidi menjadi buruan masyarakat, potensi jebolnya penggunaan BBM subsidi terjadi di depan mata. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun mencatat, bahwa untuk kuota BBM jenis Solar untuk 21 hari, Pertalite untuk 19 hari, Pertamax 38 hari, Avtur 35 hari dan LPG 14 hari.
Mencermati adanya permintaan yang berlebih pasca kenaikan harga BBM non subsidi, pemerintah diminta untuk segera menerapkan subsidi BBM tertutup, supaya penggunaan BBM jenis subsidi atau penugasan bisa lebih tepat sasaran.
Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) INDEF, Abra El Talattov menyarankan pemerintah dapat mempercepat penerapan subsidi energi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) secara langsung perorangan atau tertutup. Hal ini dilakukan mengingat disparitas harga antara Pertamax dan Pertalite sekarang ini cukup tinggi.
Menurut Abra penetapan Pertalite sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) merupakan konsekuensi pemerintah atas kebijakan menaikkan harga Pertamax. Sekalipun kenaikan harga BBM non subsidi ini masih di bawah nilai keekonomian.
Awalnya pemerintah cukup percaya diri bahwa kenaikan Pertamax tidak akan berdampak begitu besar terhadap konsumsi Pertalite. Namun demikian, dengan disparitas harga antara Pertamax dan Pertalite sekarang ini yang hampir Rp 5.000 per liter, membuat masyarakat lebih memilih menggunakan Pertalite yang harganya 7.650 per liter dibandingkan Pertamax yang dijual Rp 12.500-Rp 13.000 per liter.
"Akhirnya karena subsidi BBM skemanya terbuka ini menjadi implikasi kemungkinan besar volume konsumsi BBM Pertalite akan melebihi kuota yang ditetapkan di tahun ini bahkan tahun mendatang," kata Abra kepada CNBC Indonesia
Abra menilai, dalam jangka pendek menetapkan Pertalite sebagai BBM penugasan memang cukup tepat. Namun demikian, harus diiringi juga dengan kebijakan yang tepat sasaran seperti implementasi subsidi langsung.
"Ini juga soal produk lain, LPG 3 Kg termasuk tarif listrik dilakukan tepat sasaran. Ke depan subsidi energi memang mau tidak mau mengarah ke tepat sasaran," kata dia.
Ardiyanto Fitrady, pakar ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, mengatakan jika subsidi diberikan ke komoditas, kemungkinan kebocoran sangat besar dan sulit dikendalikan.
"Kalaupun terpaksa karena sudah teranjur ke komoditas, subsidi harus ada batasnya juga. Dengan begitu sisi keuangan pemerintah bisa menjaga alokasi budget-nya. Kalau ada yang bocor, harga berubah misalnya tidak akan sebesar dampaknya," ujar Ardiyanto saat diskusi dengan media secara virtual, Senin (18/4/2022).
Menurut Ardiyanto, menaikan harga komoditi isunya sangat besar. Apalagi kaitannya dengan komoditi yang digunakan banyak orang, seperti bahan bakar minyak (BBM) maupun LPG.
Untuk itu, dia menyarankan, lebih baik pemerintah memberikan subsidi langsung ke rumah tangga miskin. Apalagi tujuan awal subsidi adalah mengurangi beban masyarakat miskin, sedangkan masyarakat menengah keatas tidak perlu dibantu.
Dia menyebutkan, BBM bukan energi terbarukan sehingga jika disubsidi pasti akan ada kebocoran. Masyarakat akan lebih banyak membeli (BBM) daripada seharusnya. "Ini yang dimaksud level efisien. Harusnya harga itu disesuaikan, karena kalau mahal berkurang belinya. Harga itu mencerminkan kelangkaan. Kalau langka, individu akan mengurangi konsumsi," kata dia.
Menurut Ardiyanto, tidak adanya kenaikan harga BBM sejak awal harga minyak terus meroket dari level US$90 melewati US$ 100 per barel merupakan bentuk itikad baik pemerintah di masa sulit akibat dampak pandemi COVID-19. Seharusnya, lanjut dia, badan usaha mengikuti naik turunya harga minyak dengan melakukan penyesuaian harga BBM. Apalagi subsidi kompensasi juga tidak gratis, namun berasal dari realokasi APBN.
"Itu sebenarnya bisa dikeluarkan buat yang lain, mungkin juga lebih bermanfaat untuk kesehatan dan pendidikan. Sebenarnya kita kehilangan kesempatan mendanai program lain," ungkapnya.
Ardiyanto menilai subsidi seharunya itu tidak langsung dilepas ketika ada masalah seperti saat ini, yaitu tingginya harga minyak mentah sehinga mempengaruhi harga BBM di dalam negeri. Karena ketika keuangan tidak kuat lalu subsidi dilepas atau dikurangi drastis yang terjadi adalah shock perekonomian akan besar.
"Orang akan sulit menyesuaikan diri. Inti masalahnya adalah perilaku masyarakat. Seberapa besar konsumsi BBM itu bisa ditata perilakunya. Ketika harga dinaikan sedikit demi sedikit orang bisa mengurangi konsumsi. Tapi kalau diminta mengurangi konsumsi drastis itu sulit," kata dia.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Negara Hadir! Kompensasi ke Pertamina Buat Proteksi Daya Beli