Sebagian besar pertumbuhan kuartal pertama sejatinya berasal dari Januari dan Februari. Pada Maret, penguncian untuk menahan wabah Covid-19 telah menyebar ke pusat-pusat industri utama termasuk Shenzhen, Shanghai, dan provinsi industri Timur Laut Jilin. Sebagian besar lockdown tersebut berlaku hingga saat ini, menimbulkan pertanyaan tentang kuartal kedua.
Data ekonomi China menunjukkan output pabrik melemah bulan lalu karena lockdown membatasi tenaga kerja dan memperburuk rantai pasok. Produksi industri naik 5% secara tahunan (yoy) pada Maret, melambat dari kenaikan 7,5% (yoy) pada periode Januari-Februari. Data perdagangan terbaru juga menunjukkan impor China turun pada Maret untuk kali pertama dalam hampir dua tahun karena pertumbuhan ekspor melambat.
Penjualan ritel China juga tertekan pada Maret, jatuh 3,5% secara tahunan (yoy). Sebelum lockdown meluas dan memaksa orang menutup toko, penjualan ritel China dalam dua bulan pertama sebenarnya naik 6,7% secara tahunan.
Penjualan rumah berdasarkan volume juga turun 25,6% pada kuartal pertama dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu konstruksi baru yang diukur dari luas lantai turun 17,5%.
Pejabat China mengatakan PDB dalam tiga bulan pertama tahun ini meningkat 1,3% jika dibandingkan dengan kuartal keempat tahun 2021 (qtq). Meski demikian, angka tersebut nyatanya mengalami perlambatan dari pertumbuhan 1,6% (qtq) pada tiga bulan terakhir tahun 2021 lalu.
Perusahaan seperti Tesla dan Volkswagen terpaksa menutup pabrik di China selama bulan Maret karena penguncian menghambat produksi. Sementara itu, pembuat mobil China SAIC Motor dan produsen chip krusial asal Taiwan Semiconductor Manufacturing (TSMC) mampu mempertahankan beberapa operasi dengan menerapkan sistem tertutup, di mana pekerja pergerakannya sangat dibatasi.
Tekanan berat terutama terjadi di Shanghai, pusat wabah Covid-19 saat ini. Bahkan eksekutif dari perusahaan teknologi raksasa China telah mewanti-wanti risiko besar apabila kondisi tersebut tidak segera terselesaikan.
"Jika produksi tidak dapat dilanjutkan di Shanghai, semua sektor teknologi dan industri dengan hubungan rantai pasokan ke Shanghai-terutama industri otomotif-akan ditutup sepenuhnya setelah Mei, menimbulkan biaya ekonomi besar [yang harus dibayar]," Richard Yu, eksekutif Huawei di sektor solusi otomotif mengatakan pada hari Jumat (15/4) melalui platform media sosial WeChat.
Menanggapi keinginan banyak pihak agar lockdown segera berakhir, Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi China dalam sebuah pernyataan yang diunggah di situs resmi Jumat lalu berjanji untuk membantu perusahaan-perusahaan utama di Shanghai dengan mengatasi hambatan logistik dan memastikan pasokan bahan baku utama. Pihak kementerian telah membuat daftar prioritas 666 perusahaan di industri utama seperti otomotif, semikonduktor, dan biomedis untuk memastikan semuanya dapat memulai kembali bisnisnya.
Adapun, penguncian lokal sedang diberlakukan, diperluas atau diperpanjang di beberapa wilayah lain termasuk kota Taiyuan, Guangzhou dan Shenzhen. Empat puluh lima kota di China dengan total gabungan 373 juta orang telah menerapkan penguncian penuh atau sebagian pada Senin ini, peningkatan tajam dari 23 kota dengan 193 juta penduduk seminggu sebelumnya, menurut survei yang dilaksanakan oleh Nomura.
Para ekonom memperkirakan Beijing akan memberlakukan lebih banyak langkah stimulus dalam beberapa bulan mendatang demi mencapai target pertumbuhan PDB 5,5%. Bank sentral China (PBOC) mengatakan pada hari Jumat akan merilis likuiditas senilai miliaran dolar untuk mendorong pinjaman bank, meskipun suku bunga acuan tidak berubah.
PBOC pada Jumat lalu mengumumkan penurunan rasio persyaratan cadangan bank sebesar seperempat poin persentase (0,25%), sehingga membebaskan 530 miliar yuan (US$ 83 miliar) atau setara dengan sekitar Rp 1.191 triliun (kurs Rp 14.350/US$), pada neraca bank yang dapat disalurkan menjadi pinjaman baru.
Bagi banyak ekonom, masih belum diketahui jelas dari mana asal pertumbuhan ekonomi China tahun ini. Bisnis menghadapi kenaikan biaya serta melemahnya permintaan domestik dan luar negeri. Real estat dan properti yang telah menjadi mesin pertumbuhan utama di masa lalu masih berjuang mati-matian melunasi utang yang macet. Ditambah lagi konsumen yang semakin terkotak-kotak oleh strategi ekstrem pemerintah dalam memerangi virus Covid-19.
Kemerosotan ekonomi China bisa memberikan masalah bagi Indonesia, mengingat Negeri Panda merupakan partner dagang paling penting bagi Indonesia, baik itu dari ekspor maupun impor.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun lalu total ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 53,78 miliar, mengalami kenaikan hingga 69% dari tahun 2020 kala ekonomi dunia berada di puncak krisis pandemi.
Nilai tersebut berkontribusi sebesar 26% dari total ekspor Indonesia. Kontribusi tersebut nyaris sebanding dengan total ekspor ke Amerika Serikat, Jepang dan India, yang mana nilai gabungan ketiganya berada di angka 28%.
Komoditas utama ekspor ke Cina, termasuk batu bara, besi dan baja, juga hingga minyak nabati.
Artinya, China merupakan pangsa ekspor terbesar Indonesia, ketika perekonomian melambat bahkan hanya stagnan saja ada risiko demand akan menurun, yang berdampak pada industri di dalam negeri.
Kemudian impor dari China lebih krusial lagi. Sejak tahun 1990, nilai impor dari China nyaris selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Penurunan tajam baru terjadi pada tahun 2020 lalu.
Berdasarkan data BPS, impor dari China berkontribusi nyaris sepertiga atau sebesar 32% dari total impor Indonesia sepanjang tahun 2021, dengan nilai mencapai US$ 56,23 miliar. Total impor tersebut lebih tinggi 41% dari tahun 2020 sebesar US$ 39,63 miliar.
Kontribusi impor dari China nyaris sebanding dengan total impor dari lima mitra dagang besar lainnya yakni Amerika Serikat, Jepang, India, Malaysia dan Singapura yang mana nilai gabungan kelimanya berada di angka 33%.
Apabila pertumbuhan ekonomi di China masih dalam mode 'jalan santai' dan bukan berlari kencang, atau bahkan ke depannya malah melambat, hal tersebut tentu sangat mempengaruhi kondisi ekonomi di Indonesia, karena China merupakan partner dagang nomor satu Indonesia. Penurunan permintaan dari China bahkan dapat menurunkan potensi pendapatan yang akan masuk ke kantong pemerintah buah dari reli harga komoditas. Kesemuanya pada akhirnya dapat memberikan sentimen negatif tidak hanya pada ekonomi Indonesia, tetapi juga ekonomi global secara keseluruhan.
TIM RISET CNBC INDONESIA