RI Kudu Kocek Rp 28,7 T/Bulan Cuma Buat Impor Minyak!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia dikabarkan merogoh kocek hingga Rp 28,7 triliun tiap per bulan dalam melaksanakan impor minyak mentah. Pengeluaran itu kerap membengkak tatkala harga minyak mentah dunia yang dalam waktu dua bulan ini mengalami kenaikan yang signifikan di atas level US$ 100 per barel.
Ali Nasir dari Indonesian Petroleum Association (IPA) mengakui bahwa kenaikan harga minyak mentah diharapkan menjadi daya tarik tersendiri bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas untuk menggenjot investasinya. Namun di saat yang sama, kenaikan harga minyak juga menjadi bumerang tersendiri bagi pemerintah.
Pasalnya, selama ini pemenuhan kebutuhan minyak domestik sebesar 700 ribu barel per hari masih mengandalkan impor. Guna memenuhi kebutuhan tersebut setidaknya pemerintah harus mengeluarkan uang sebesar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28,7 triliun per bulannya.
"Tentunya gap yang besar ini kalau impor akan menggerus cadangan devisa kita, security energy ter compromise dan tentu yang lebih parah sekitar hampir US$ 2 miliar per bulan kita habiskan untuk beli minyak dari luar negeri," kata dia dalam diskusi secara virtual, Rabu (13/4/2022).
Padahal menurut Ali Indonesia masih memiliki 68 basin yang belum dieksplorasi. Oleh sebab itu, guna menutupi gap 700 ribu BPH tersebut, saat ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah mematok target untuk produksi minyak 1 juta barel di tahun 2030.
"Tentunya ini butuh investasi yang besar," katanya.
SKK Migas menyampaikan bahwa investasi hulu migas sejak periode 2017 hingga 2021 relatif stagnan. Pasalnya, realisasi investasi hanya berkisar di level US$ 10-an miliar.
Deputi Operasi SKK Migas, Julius Wiratno berharap supaya target investasi pada tahun ini dapat tercapai. Target investasi untuk sektor hulu migas 2022 ditetapkan sebesar US$ 13,2 miliar, naik 23,4% dari realisasi investasi migas 2021 yang mencapai US$ 10,7 miliar.
"Investasi kami sampaikan data 2017-2021 masih cenderung stagnan rata rata US$ 10 an miliar. Tahun ini kita canangkan US$ 13,2 miliar harapannya memang terjadi lonjakan," kata dia dalam acara yang sama.
Julius mengakui bahwa dalam dua tahun terakhir ini target investasi hulu migas memang agak cukup berat untuk direalisasikan. Hal tersebut terjadi lantaran adanya pandemi covid-19 ditambah dengan arah kebijakan perusahaan migas dunia yang mulai mengurangi investasinya.
"KKKS ExxonMobil, Shell, ENI dan bahkan juga Pertamina beberapa waktu lalu untuk memangkas capex dan opex nah ini impaknya membuat efek domino," katanya.
Selain itu, tantangan lain dalam industri hulu migas yakni adanya target net zero emissions di sektor energi pada tahun 2050, kemudian daya tarik fiskal yang sedikit menurun. Namun demikian kebutuhan minyak bumi dunia diprediksi akan terus tumbuh.
Adapun berdasarkan data SKK Migas, realisasi investasi hulu migas pada 2017 hanya mencapai US$ 10,3 miliar, 2018 tercatat hanya US$ 10,9 miliar, 2019 tercatat US$ 11,7 miliar, 2020 tercatat US$ 10,5 miliar, 2021 sebesar US$ 10,09 miliar.
(pgr/pgr)