Kasus Tumpahan Minyak Montara, Luhut: Mereka Harus Bayar!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia secara tegas akan terus mengawal kasus tumpahan minyak Montara yang telah terjadi di Laut Timor beberapa waktu lalu. Pasalnya, sudah lebih dari satu dekade ini, insiden tersebut belum juga menemui titik terang.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah akan terus mengejar persoalan tumpahan minyak akibat ledakan Kilang minyak Montara milik perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP) yang terjadi pada 2009 lalu. Bahkan Luhut tak segan-segan meminta Pemerintah Australia untuk transparan mengenai kasus ini.
"Saya kira sikap kita tegas kita gak mau kompromi soal ini. Kesalahan dibuat oleh PTTEP dia harus bayar," kata Luhut dalam diskusi optimalisasi penyelesaian kasus Montara, Jumat (1/4/2022).
Dalam menuntaskan kasus ini, pemerintah berencana untuk mengajukan gugatan di dalam negeri maupun luar negeri. Pasalnya, dampak yang ditimbulkan dari kasus tumpahan minyak tersebut sampai saat ini masih dirasakan oleh masyarakat, terutama di Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Kupang yang tercemar akibat tumpahan tersebut.
"Jadi tugas saya sebagai Menteri dibayar oleh pajak rakyat. Saya harus melakukan tugas saya untuk membela kepentingan rakyat Indonesia. Betapa hancurnya rumput laut yang jadi mata pencaharian harus dihitung belum kerusakan tubuh manusia yang memakan ikan terkontaminasi. kita akan fight at all cost," ujar Luhut.
Adapun, Presiden Joko Widodo, kata Luhut juga telah menginstruksikan untuk penyelesaian kasus ini. Bahkan pemerintah juga telah menyiapkan peraturan presiden yang dapat menggugat PTTEP Australasia di dalam negeri.
Gugatan dalam negeri nantinya akan dipimpin langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan gugatan internasional akan dipimpin langsung oleh Kementerian Hukum dan HAM.
"Kelak jika Perpres ini keluar dalam rangka pembentukan task force Montara kami akan segera mengeksekusi hal hal tersebut di lapangan," ujarnya.
Untuk diketahui, Pengadilan Federal Australia di Sydney dalam putusannya memenangkan gugatan 15 ribu petani rumput laut dan nelayan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Jumat (19/03/2021). Hal ini terkait tumpahan minyak dari lapangan Montara yang dioperasikan PTT Exploration and Production (PTTEP), perusahaan minyak dan gas bumi asal Thailand, di lepas landas kontinen Australia pada 2009 lalu.
Hakim Pengadilan Federal untuk kasus ini, David Yates, mengatakan tumpahan minyak tersebut menyebabkan kerugian secara material, menyebabkan kematian dan rusaknya rumput laut yang menjadi mata pencaharian para petani.
"Perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP), selaku tergugat menyatakan sedang mempertimbangkan untuk naik banding," ungkapnya, seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jumat tahun lalu (19/03/2021).
Dalam putusannya, dia menyebut PTTEP tidak menyanggah bukti bahwa mereka telah lalai dalam operasinya di ladang minyak Montara. Oleh karena itu, perusahaan mendapat hukuman memberi ganti rugi sebesar Rp 252 juta (AU$ 22.500) kepada penggugat utama dari gugatan kelompok tersebut.
Ketua Task Force Montara Purbaya Yudhi Sadewa, juga mengakui bahwa penyelesaian ganti rugi kepada nelayan dan petani rumput ini lambat untuk mendapat ganti rugi.
"Effort kita akan segala cara secara internasional melalui pemerintah Australia domestik kita tutup perusahaanya. Kita lihat aset perusahaan mereka disini apa saja. kalo mereka gak mau juga kita akan bertindak lebih ekstrim," kata Purbaya.
Purbaya mengatakan jika PTTEP mau melakukan settlement atau proses perjanjian secara damai, setidaknya perusahaan asal Thailand itu harus menggelontorkan dana mencapai US$ 500 - 600 juta atau setara Rp 8,4 triliun (kurs Rp 14.000/US$).
"Masalahnya mereka tidak mau diskusi, padahal kita tawarkan opsi yang meringankan mereka. Makanya kita tekan dari segala arah kita gak main-main," kata Purbaya.
(pgr/pgr)