Perang Rusia Vs Ukraina, Posisi Indonesia dan Eksistensi NATO

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
31 March 2022 08:05
Russia Ukraine War
Foto: Ilustrasi perang Rusia dan Ukraina (AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Soeharto Profesor Ginandjar Kartasasmita memberikan kuliah umum kepada civitas academica Universitas Paramadina, kemarin. Dalam kesempatan itu, Ginandjar berbicara perihal peperangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung hingga saat ini.

Menurut dia, perang antarkedua negara merupakan konflik ikutan pascabubarnya ideologi dan sistem politik komunis Rusia di bawah Perestroika Gorbachev. Kebijakan Gorbachev memicu disintegrasi Uni Soviet yang berujung pada pemisahan tiga negara bagian utama, yaitu USSR Belarus, Rusia dan Ukraina.

"Setelah masing-masing menjadi negara merdeka timbul ketegangan Rusia-Ukraina terutama dalam soal aset dan infrastruktur militer Uni Soviet yang banyak terdapat di Ukraina. Begitupun soal etnis Rusia di Ukraina, dan isu Krimea di mana 65,3% penduduk merupakan etnis Rusia," kata Ginandjar.

Menurut dia, serangan Rusia terhadap Ukraina tak lepas dari keinginan Ukraina menjadi anggota NATO. Kemungkinan itu terbuka setelah amandemen konstitusi Ukraina pada 2019.

Ginandjar mengatakan, Rusia menganggap prospek keanggotaan Ukraina ke dalam NATO sebagai pelanggaran terhadap "garis merah" Rusia dan ancaman terhadap keamanan Rusia. Sementara sebagian negara-negara eks USSR juga sudah bergabung ke dalam NATO.

Lebih lanjut, purnawirawan TNI AU itu menjelaskan, perang Rusia dan Ukraina saat ini adalah penyelesaian sengketa model abad 20 yang ditandai dengan dua kali perang dunia serta beberapa perang besar di Korea, Vietnam, Afghanistan dan lain-lain. Terdapat ofensif satu negara ke negara lain dan menimbulkan korban jutaan warga sipil baik meninggal ataupun mengungsi.

Padahal, lanjut Ginandjar, selama dua dasawarsa abad 21, dunia telah semakin mengglobal baik hubungan antarnegara, kehidupan individu dan sosial, ekonomi, politik telah disatukan oleh kemajuan teknologi digital dan komunikasi yang sangat pesat. Demikian kata Dani Rodrik dalam bukunya "Hyper Globalization" terbitan Harvard University.

Berbagai model bisnis dan kegiatan ekonomi keuangan terinteraksi mendunia dengan berbagi aplikasi internet, media sosial dan aneka gadget. Di dunia politik, perangkat teknologi membuka pintu datangnya era "Demokrasi Digital".

Menurut Ginandjar, demokrasi kembali ke arah demokrasi langsung seperti zaman Athena Yunani. Namun saat ini demokrasi langsung difasilitasi oleh kemajuan perangkat teknologi komunikasi dan digital.

Dia menilai tidak ada lagi dua kutub ideologi yang berhadapan diametral, seperti pada era perang dingin. Rusia pun telah menjadi negara kapitalis. Sistem politik otoritarian tetapi sistem ekonomi kapitalis, sama seperti China. Konflik-konflik Timur Tengah, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan perang skala besar menjadi semakin dihindarkan, diganti oleh perang ekonomi dan teknologi siber sebagai bagian kehidupan sehari-hari.

"Maka invasi Rusia ke Ukraina adalah hal mengejutkan. Hal itu merupakan bagian dari "Security Dilemma" yang tidak lagi dapat membedakan tindakan ofensif dan defensif dalam melindungi keamanan dan kepentingan nasional masing-masing negara. Bagi Barat, agresi Rusia adalah langkah ofensif, tapi bagi Rusia adalah langkah defensif terutama mencegah Ukraina melebur ke dalam NATO," kata Ginandjar.

Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono itu bilang kepentingan nasional Indonesia adalah agar konflik cepat berhenti dan perdamaian terwujud. Apa saja alasannya?

"Pertama, perang dan sanksi-sanksi ekonomi telah menyulitkan dan menekan ekonomi Indonesia dan ASEAN khususnya. Kedua, berpengaruh terhadap posisi Presidensi Indonesia di G-20," kata Ginandjar.

"Ketiga, eisiko kenaikan harga-harga pupuk, gandum jagung, minyak dan gas yang telah langsung naik tinggi akibat invasi. Rusia produsen gandum terbesar dunia bersama Ukraina (supplier 30 % gandum dunia). Kemudian 13% jagung dunia bersumber dari Ukraina," lanjutnya.

Lebih lanjut, Ginandjar bilang konflik peradaban sekarang adalah konflik peradaban Barat vs peradaban Timur. Namun mentalitas Rusia lebih banyak ke Timur di mana 70% sikap mental Rusia mewakili peradaban Timur.

Menurut dia, Rusia tidak betul-betul Barat meski bersistem demokrasi tetapi bukan demokrasi murni. Jika Rusia adalah negara demokratis, maka tidak akan terjadi invasi ke Ukraina karena harus menunggu izin parlemen Rusia.

"Zaman ke depan adalah abad yang dipimpin oleh China dengan kekuatan ekonomi dan teknologinya. Teknologi adalah kunci kemenangan peradaban saat ini," ujar Ginanjar.

Terkait NATO, dia mengatakan NATO dulu dibentuk karena adanya Pakta Warsawa Uni Soviet cs. Namun kini eksistensi NATO sesungguhnya tidak lagi diperlukan dan ahistoris karena Rusia sendiri telah menanggalkan ideologi dan sistem politik komunisme.

"Maka agresivitas NATO di Eropa Timur hanya akan memancing kemarahan Rusia," kata Ginandjar.

Direktur PGSD Universitas Paramadina Shishkha Prabawaningtyas menilai serangan Rusia terhadap Ukraina memunculkan sejumlah pertanyaan.

"Apakah telah pecah dan bergesernya bangunan Western Trans Atlantik yang ditandai ketika Rusia membangun proxy dengan China? Apakah hal itu juga sebagai bagian dari perjalanan value western yang dilihat oleh peradaban nonbarat sebagai peradaban hipokrit, dan mementingkan diri sendiri? Mungkinkah akan bergeser ke sebuah peradaban baru yang masih menyusun bentuknya sendiri?," ujar Shishkha.

Menurut dia, masih menjadi pertanyaan besar, akan bergerak ke arah mana setelah sebelumnya ada clash antara komunis vs demokrasi dan kemudian demokrasi vs otokrasi.

"Terjadi benturan nilai peradaban dan tarik menarik antara sistem nilai demokrasi dan otokrasi. Apalagi setelah terbukti sistem besar demokrasi tidak menjamin efektivitas negara ketika berhadapan dengan pandemi Covid-19," kata Shishkha.

Lebih lanjut, dia mengatakan konsep "Security Dilemma" berawal dari pemikiran yang muncul pada era 1950-an yang mempunyai asumsi dasar berangkat dari proposisi bagaimana political realism (das sein) dibandingkan dengan political idealism (das solen). Konsep "Security Dilemma" secara khusus membahas paradigma kebutuhan negara akan rasa aman dari ancaman negara lain.

Terkait Indonesia, Shishkha bilang harus ada kebijakan yang tepat terkait kondisi yang di luar perkiraan terjadi ketika Indonesia sebagai Presidensi G20.

"Konsiderasi policy harus diperiapkan dengan narasi yang tepat karena Rusia telah menyatakan akan hadir pada sidang G20. Indonesia jelas berada pada beberapa pilihan pensikapan. Beberapa negara besar sudah menyatakan akan memboikot pertemuan G20 di Indonesia jika Rusia diizinkan hadir," ujar Shishkha.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular