Inflasi Turki Diramal Tembus 60%, Indonesia Perlu Waspada?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 March 2022 17:15
tayyip erdogan
Foto: Cem Oksuz/Turkish Presidential Palace

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi tinggi menjadi masalah baru yang melanda perekonomian dunia. Tidak hanya negara maju di Barat, negara emerging market juga mengalaminya, Turki menjadi yang paling parah.

Pada Februari lalu, inflasi di Turki mencapai 54,4% (year-on-year/yoy), menjadi yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Laju kenaikan inflasi tersebut masih belum akan terhenti, hasil survei Reuters menunjukkan inflasi di Turki akan melesat lagi melewati 60% di bulan ini.

Dari 17 institusi yang terlibat, survei tersebut menghasilkan nilai tengah (median) 61,5%, dengan rentang 58,25% hingga 62,7%.

Jika terealisasi, inflasi tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Maret 2002 ketika mencapai 65,1%.

Selain itu, ekonom melihat sepanjang tahun ini inflasi di negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan ini masih akan tetap tinggi. Di akhir tahun, median estimasi inflasi masih berada di 54%, lebih tinggi ketimbang survei yang dilakukan bulan lalu sebesar 38%. Rentang survei tersebut berada di kisaran 32,3% sampai 75%.

"Kami memperkirakan inflasi akan tetap di atas 60% di akhir tahun ini. Ini berarti suku bunga riil akan sangat negatif dalam waktu yang lama. Itu tidak hanya menyulitkan untuk melawan inflasi, tetapi juga membuat nilai tukar lira Turki menjadi sangat ringkih," kata analis JP Morgan dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters, Senin (28/3/2022).

Meski para ekonom memprediksi inflasi terus menanjak, tetapi pemerintah Turki optimistis bisa mengendalikan inflasi. Dengan program ekonomi terbaru yang memprioritaskan suku bunga rendah untuk mendorong produksi dan ekspor serta menargetkan surplus transaksi berjalan, pemerintah Turki menargetkan inflasi bisa turun menjadi satu digit di tahun depan.

Inflasi di Turki sebenarnya sudah mulai menanjak sejak akhir tahun lalu dan diperparah dengan kenaikan tajam harga komoditas energi di tahun ini.

Impor energi, minyak mentah, gas alam dan batu bara Turki mayoritas berasal dari Rusia. Perang Rusia dengan Ukraina membuat harga komoditas tersebut meroket dan mengakselerasi inflasi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Selama Rupiah Stabil, Indonesia Tidak Akan Senasib dengan Turki

Kenaikan inflasi memang tidak bisa dihindarkan, termasuk di Indonesia. Tetapi bedanya, inflasi di Indonesia jauh lebih terkendali. Bahkan masih bisa di dalam target Bank Indonesia (BI), yakni 3% plus minus 1%.

Kenaikan harga minyak mentah membuat pemerintah berpeluang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis Pertamax.

Di awal pekan ini, Komisi VI DPR RI - yang salah satu tugasnya mengawasi sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) - merestui PT Pertamina (Persero) untuk segera melakukan penyesuaian harga BBM nonsubsidi jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 92 atau Pertamax.

Pasalnya, harga jual bensin Pertamax ini sudah jauh dari nilai keekonomian.

Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan dampak kenaikan BBM ke inflasi akan sangat bergantung pada besaran kenaikannya. Dalam hitungan Bank Danamon, setiap kenaikan Rp 500 per liter bisa mendorong inflasi hingga 0,69 percentage points (pcp) dari asumsi awal.

"Kenaikan Rp 1.000 per liter bisa berdampak 1,44 pcp ke baseline dan bila naik Rp 2.000 bisa hingga 2,62 pcp," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.

Irman memperkirakan inflasi pada akhir tahun bisa mengarah ke 4% bila tanpa kenaikan harga BBM.

"Jika (BBM) dinaikkan dapat berpotensi lebih tinggi di berbagai skenario tersebut," tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan, Ekonom Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, yang melihat inflasi bisa mencapai 4%. Selain kenaikan harga BBM, PPN serta cukai rokok juga menjadi penyumbang inflasi tahun ini.

"Inflasi Indonesia dari prediksi awal untuk rata-rata 2,4% tahun ini kemungkinan besar melonjak jadi 4%," kata Enrico dalam program PROFIT CNBC Indonesia 9 Maret lalu.

"Kita harus lihat sumber inflasi, dampak PPN termasuk kenaikan cukai rokok 0,3-0,5%. Dampak hari raya dan lebaran cukup signifikan," terangnya.

Namun, perlu diingat pertamax berkontribusi 13% dari konsumsi BBM nasional, sangat jauh di bawah Pertalite (RON 90) sebesar 79%.

Harga pertalite sendiri masih belum diketahui akan dinaikkan atau tidak, tetapi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi Pertalite (RON 90) yang dijual Pertamina sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP).

Dengan dimasukkannya bensin Pertalite ke dalam JBKP ini, maka bensin Pertalite seharusnya diperlakukan sama seperti halnya bensin Premium (RON 88) yang mendapatkan kompensasi penuh dari pemerintah.

Sehingga jika harga Pertalite tidak naik, maka dampaknya ke inflasi tidak akan sangat besar.

Selain itu, stabilitas rupiah juga menjadi kunci terjaganya inflasi di Indonesia. Dalam 3 bulan pertama tahun ini, rupiah hanya melemah 0,61%, sementara tahun lalu sekitar 1,4%. Bandingkan dengan lira Turki jeblok hingga nyaris 45% di 2021, dan sepanjang tahun ini merosot lagi 9%.

Jebloknya nilai tukar lira di tahun lalu menjadi awal meroketnya inflasi di Turki.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kebijakan Suku Bunga "Biangnya Setan" Bikin Lira Ambrol

Saat inflasi tinggi, bank sentral akan menaikkan suku bunga untuk meredamnya. Lihat saja bagaimana bank sentral Amerika Serikat yang akan sangat agresif menaikkan suku bunga di tahun ini.

Tetapi, Presiden Erdogan punya pendapat yang berbeda. Ia menyebut suku bunga tinggi adalahnya "biangnya setan". Alhasil, saat inflasi Turki dalam beberapa bulan terakhir tahun lalu berada di kisaran 20%, bank sentralnya (TCMB) malah memangkas suku bunga, bahkan dengan agresif, sebesar 500 basis poin dalam tempo 4 bulan saja menjadi 14%.

Hasilnya bisa ditebak, suku bunga di bawah inflasi kurs lira pun babak belur. Saat nilai tukar lira jeblok, inflasi pun akhirnya semakin meroket, dan diperparah dengan kenaikan harga komoditas akibat perang Rusia dengan Ukraina.

"Efek dari perang Rusia dan Ukraina meluber, termasuk tingginya harga komoditas dan potensi terjadinya disrupsi supply lagi, artinya risiko kenaikan inflasi masih tinggi," kata Jason Tuvey, ekonom senior untuk emerging market di Capital Economics dalam sebuah catatan yang dikutip Financial Times awal bulan ini.

Sama dengan analis dari JP Morgan, Tuvey juga melihat inflasi di Turki masih akan tinggi hingga akhir tahun.

"Inflasi masih akan tetap tinggi sampai bulan terakhir tahun ini, tetapi bank sentral, yang paling krusial adalah Presiden Erdogan, tidak memiliki niat untuk menaikkan suku bunga," tambahnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dijampi-jampi Erdogan? Inflasi Turki Melambat 64%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular