Terungkap! Industri Tambang & Sawit Picu Solar Subsidi Langka
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) menduga bahwa industri tambang dan kelapa sawit mempunyai peran besar dalam kelangkaan Solar subsidi yang terjadi di sejumlah daerah akhir-akhir ini.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, kelangkaan Solar subsidi terjadi salah satunya disebabkan oleh banyaknya industri tambang dan kelapa sawit beralih menggunakan Solar subsidi dari seharusnya Solar non subsidi. Hal tersebut terlihat dari menurunnya penjualan Solar non subsidi dan meningkatnya penjualan Solar subsidi di sekitar area tambang dan industri sawit.
Akibatnya, penyaluran Solar bersubsidi per Februari telah melebihi 10% dari kuota yang ditetapkan pemerintah.
"Antrian ini banyak yang dari industri sawit dan tambang. Kita duga banyak yang pakai Solar subsidi. Dan ini kelihatannya, penjualan Solar non subsidi turun, Solar subsidi naik, padahal industri naik," kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Senin (28/3/2022).
Oleh sebab itu, pihaknya mengusulkan dibutuhkan adanya aturan berupa Keputusan Menteri (Kepmen) yang bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, khususnya terkait aturan mengenai siapa yang berhak mengonsumsi BBM jenis Solar subsidi maupun volumenya.
"Industri kan tumbuh, kita tetap suplai, meski sudah overkuota. Februari sudah 10% naiknya, sudah overkuota," kata dia.
Perlu diketahui, kuota Solar subsidi pada 2022 ditetapkan sebesar 15,1 juta kilo liter (kl) di mana alokasi kepada Pertamina sebesar 14,9 juta kl dan PT AKR Corporindo (AKRA) 186 ribu kl. Pertamina juga memperoleh penugasan untuk menyalurkan minyak tanah bersubsidi pada 2022 ini sebesar 480 ribu kl.
Namun Pertamina memproyeksikan, permintaan Solar subsidi pada tahun ini bisa meningkat hingga 16 juta kl.
Nicke membeberkan kelangkaan Solar bersubsidi sendiri terjadi salah satunya disebabkan oleh selisih harga jual dengan Solar non subsidi yang semakin jauh. Setidaknya, selisih harga Solar bersubsidi dan non subsidi angkanya saat ini telah mencapai Rp 7.800 per liter.
"Ini yang mendorong shifting konsumsi juga. Kami lakukan pengendalian dan monitoring di lapangan. Volume jatah diturunkan, gap harga tinggi," ujarnya.
Sebelumnya, BPH Migas menuturkan penyerapan Solar bersubsidi di masyarakat hingga akhir 2021 mencapai 15,53 juta kl atau sekitar 98,32% dari kuota 2021 sebesar 15,8 juta kl.
Berdasarkan data BPH Migas, realisasi penyaluran Solar bersubsidi selama Januari-November 2021 tercatat mencapai 14,14 juta kl. Adapun proyeksi tambahan konsumsi selama Desember 2021 sekitar 1,39 juta kl. Dengan demikian, prognosa konsumsi Solar bersubsidi masyarakat sepanjang 2021 ini diperkirakan mencapai 15,53 juta kl.
(wia)