Soal Ekonomi RI, IMF Lebih Pede Ketimbang Pemerintah Lho...

Maesaroh, CNBC Indonesia
24 March 2022 16:35
Pembangunan tol Semarang-Demak seksi II terus dikebut. Ditargetkan, proyek pembangunan jalan tol dari Sayung sampai Demak sepanjang 16,31 km. (Dok: Humas Jateng/jatengprov.go.id/)
Foto: Pembangunan tol Semarang-Demak seksi II terus dikebut. Ditargetkan, proyek pembangunan jalan tol dari Sayung sampai Demak sepanjang 16,31 km. (Dok: Humas Jateng/jatengprov.go.id/)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dari 5,6% menjadi 5,4%. Meski sudah dipotong, tetapi proyeksi IMF lebih optimistis ketimbang pemerintah.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi di 5,2% Sementara 'ramalan' Bank Indonesia (BI) ada di 4,7-5,5% sehingga titik tengahnya adalah 5,1%.

IMF mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan dalam fase yang cepat setelah dihantam pandemi Covid-19. "Dengan didukung oleh harga komoditas, pelonggaran mobilitas, kebijakan yang mendukung, serta vaksinasi IMF memperkirakan PDB (Produk Domestik Bruto) akan tumbuh 5,4% tahun ini," tulis IMF dalam pernyataannya.

IMF menilai laju inflasi Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara lain yang memungkinkan BI menerapkan kebijakan yang akomodatif. Sebagai catatan, inflasi Indonesia tercatat di bawah 3% dalam tiga tahun terakhir.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 3,69% pada 2021 setelah terkontraksi 2,07% tahun sebelumnya.


Ekonom BCA David Sumual mengatakan koreksi pertumbuhan yang dilakukan IMF tidak mengagetkan mengingat lembaga tersebut memasang proyeksi yang sangat tinggi. Merujuk pada data, IMF merupakan lembaga yang memberikan proyeksi pertumbuhan paling tinggi dibandingkan lembaga lain.

Semula IMF menetapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,6% untuk tahun ini. Lebih tinggi dibandingkan Bank Dunia, OECD atau bahkan pemerintah melalui APBN 2020 yang semua memberikan proyeksi pertumbuhan di level 5,2% untuk tahun ini.

"Proyeksi IMF tinggi sekali, saya rasa mereka juga akan meng-cut lagi proyeksi mereka. Mereka kan ada dua kali assessment. Mungkin saat assessment September nanti," tutur David, kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/3/2022).



David mengingatkan perekonomian Indonesia masih dalam tahap konsolidasi setelah dihantam pandemi Covid-19. Indonesia, menurutnya, diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas. Kenaikan tersebut mendongkrak kinerja ekspor.


"Kita berharap kuartal II sudah menuju fase endemi. Konsumsi juga membaik. Kami perkirakan ekonomi tumbuh sekitar 5% dan konsumsi sudah berada di 4-5%," tuturnya.

Ekonom Bank Permata Joshua Pardede mengatakan IMF merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa risiko yang akan mempengaruhi perekonomian Indonesia pada tahun 2022. Di antaranya adalah risiko varian baru Covid-19 serta risiko dari normalisasi moneter yang lebih agresif oleh bank sentral global.

Namun, ada faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dari kenaikan harga komoditas karena berdampak positif ke ekspor dan konsumsi. Sebagai catatan, ada jutaan penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari industri, pertambangan, ataupun perkebunan berbasis komoditas, terutama di Sumatra dan Kalimantan. Kenaikan harga komoditas berarti meningkatnya pendapatan yang bisa berujung pada membaiknya daya beli. 

"Meskipun demikian, di tengah tren kenaikan harga komoditas global juga akan mempengaruhi tren inflasi domestik yang selanjutnya juga akan mempengaruhi perekonomian domestik," tutur Joshua, kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/3/2022).

Dia menambahkan meskipun IMF merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi 2022, tetapi stabilitas perekonomian Indonesia tetap terjaga mengingat komitmen pemerintah untuk melakukan konsolidasi fiskal di mana defisit APBN 2023 diperkirakan kembali ke maksimal 3% terhadap PDB.

Namun, konsolidasi fiskal tersebut mengindikasikan dukungan investasi publik cenderung lebih rendah dari 2020 dan 2021 sedemikian sehingga perlu memastikan investasi swasta dapat berkontribusi lebih untuk mendorong pemulihan ekonomi domestik.

Dalam laporannya, IMF menyoroti pentingnya menyeimbangkan risiko yang bisa meningkatkan ataupun menurunkan perekonomian Indonesia. Untuk menyeimbangkan risiko, salah satunya adalah dengan mulai menghapus secara bertahap kebijakan 'exceptional" atau luar biasa yang dilakukan selama pandemi.

Seperti negara lain, Indonesia juga mengeluarkan sejumlah kebijakan pengecualian karena kondisi "luar biasa" akibat pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut di antaranya adalah dengan menetapkan defisit anggaran di atas 3% dari PDB untuk periode 2020-2022. Batas defisit tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi defisit maksimal 3% dari PDB.

"Ekonomi Indonesia sudah mulai pulih. Akan lebih baik jika kebijakan yang bersifat pengecualian yang dimaksudkan untuk mendorong ekonomi selama pandemi mulai dihapus secara bertahap. (Kembalinya defisit) akan meningkatkan kredibilitas dan membuat kebijakan fiskal lebih berkelanjutan," tutur IMF.


Kebijakan pengecualian lain yang disorot IMF adalah pembagian beban (burden sharing) antara pemerintah dan BI untuk membiayai defisit fiskal, terutama untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). BI menjadi standby buyer Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Sesuai kesepakatan burden sharing, BI akan menjadi standby buyer hingga tahun ini.

Sepanjang 2021, BI telah menyerap SBN sebesar Rp 358,32 triliun. Angka ini terdiri dari pembelian SBN sebesar Rp 143,2 triliun berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) I yang berlaku hingga 31 Desember 2022, serta Rp 215 triliun untuk pembiayaan kesehatan dan kemanusiaan akibat pandemi Covid-19.
Pada tahun ini, BI juga sudah membeli SBN sebesar Rp 8,76 triliun (hingga 15 Maret 2022) melalui mekanisme lelang utama dan greenshoe option.

IMF berharap Bank Indonesia akan mengakhiri pembelian SBN di pasar primer dan bisa memberikan sinyal yang jelas mengenai stance moneter mereka. 

Menanggapi IMF, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan permintaan IMF sudah sejalan dengan kebijakan otoritas Indonesia. "Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah, BI dan otoritas lainnya untuk secara bertahap melakukan normalisasi kebijakan seiring ekonomi yang mulai pulih," tutur Dody, kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/2). 

Dody mengingatkan normalisasi kebijakan memang harus dilakukan karena kebijakan pengecualian dimaksudkan untuk sementara saja dan bukan alat kebijakan jangka panjang. "Tidak hanya dalam konteks koordinasi fiskal dan moneter dalam bentuk pembelian SBN di pasar perdana, namun juga normalisasi kebijakan seperti terkait defisit fiskal dan kebijakan moneter, yang memang sejak awal sifatnya hanya sementara,"imbuhnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IMF Ramal RI Kalahkan China, Jepang & AS Tahun Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular