Awas Rusia Kolaps, Terancam "Kiamat" karena Utang
Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia saat ini berada dalam ancaman krisis ekonomi terbaru. Negeri Beruang Putih itu dilaporkan tidak akan mampu membayar utangnya diakibatkan sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara Barat pasca serangan Moskow ke Ukraina.
Pada Rabu (16/3/2022), saja Moskow diketahui memiliki kewajiban untuk membayarkan bunga sebesar US$ 117 juta (Rp 1,67 triliun) terhadap dua obligasi dalam mata uang euro. Analis berpendapat bahwa sanksi, yang juga memblokir Rusia dari akses terhadap devisanya, membuat utang ini tidak mampu untuk dibayarkan.
Kremlin sendiri mengaku telah menyiapkan jalan keluar mengenai persoalan ini. Pemerintah Rusia telah menyatakan pembayaran kepada kreditur dari negara-negara yang menjatuhkan saksi terhadapnya akan dilakukan dalam rubel.
Selain itu, Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov mengindikasikan pada hari Senin bahwa Rusia akan menggunakan cadangan yuan China. Ini untuk melakukan sebagian pembayaran kewajibannya.
Meski begitu, kepala ekonom pasar berkembang di Capital Economics, William Jackson, menyebut bahwa metode-metode ini mungkin tidak dapat dilakukan bagi beberapa kewajiban. Pasalnya beberapa dari utang itu harus dibayarkan kembali menggunakan Euro dan Dollar Amerika Serikat (AS).
"Mencoba membayar dalam rubel karena itu sama saja dengan default, meskipun tunduk pada masa tenggang 30 hari sebelum menjadi resmi," ujarnya sebagaimana dikutip CNBC International.
Jackson menambahkan bahwa efek dari kegagalan utang ini akan sangat besar dirasakan oleh perusahaan besar negara itu yang mengambil banyak pinjaman luar negeri. Mereka saat ini pun terancam kebangkrutan.
"Mungkin risiko yang lebih besar adalah bahwa itu mungkin merupakan awal dari default oleh perusahaan-perusahaan Rusia, yang utang luar negerinya lebih dari empat kali lebih besar daripada utang negara," katanya.
"Sejauh ini, perusahaan-perusahaan Rusia tampaknya terus membayar utang mereka sejak sanksi diperketat, tetapi dengan perdagangan yang terganggu, sanksi yang berpotensi diperluas dan ekonomi yang menuju resesi yang dalam, kemungkinan default perusahaan meningkat."
Hal yang sama juga diutarakan ahli strategi senior pasar negara berkembang di BlueBay Asset Management, Timothy Ash, mengatakan bahwa saat ini Moskow sedang membuat membuat citra bahwa sebenarnya yang membuat mereka tidak mampu membayar utangnya adalah sanksi Barat.
Namun, menurut Ash, hal ini tidak serta merta dapat diterima oleh para kreditur. Ia memprediksi akan ada dampak jangka panjang yang justru akan membawa Rusia ke dalam default. Bila ini terjadi, Rusia pun menurutnya akan kesulitan mendapatkan kredit dari manapun termasuk dari China, yang selama ini merupakan mitra strategisnya.
"Kegagalan untuk membayar akan melihat peringkat Rusia dipotong ke status default oleh lembaga keuangan, yang akan diperpanjang karena kesulitan dalam memastikan restrukturisasi utang cepat. Ini akan membuat biaya pinjaman Rusia tetap tinggi dan membatasi pilihan pembiayaan, bahkan dari negara-negara seperti China," ujar Ash.
"Bahkan jika perang berakhir dengan cepat, dan perdamaian diselesaikan, pasar dan lembaga pemeringkat akan mengingat krisis ini untuk beberapa waktu dan peringkat akan lambat untuk pulih, dan biaya pinjaman Rusia lambat hingga moderat. Ini akan menghambat perkembangan ekonomi Rusia di tahun-tahun mendatang," tambahnya.
(sef/sef)