Lima Mantan PM Jepang Tak Rekomendasikan PLTN, Ini Alasannya

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Jumat, 11/03/2022 18:15 WIB
Foto: Pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Dai-ichi. (AP Photo/Jae C. Hong)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lima mantan Perdana Menteri (PM) Jepang diketahui mengirimkan surat kepada Komisi Uni Eropa. Surat itu dilayangkan karena Uni Eropa Uni Eropa memiliki rencana untuk memasukan pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai bagian dalam 'Green Taxonomy'.

Adapun alasan Uni Eropa memasukan pembangkit nuklir ke dalam Green Taxonomy adalah sebagai salah satu klasifikasi sektor upaya menyelamatkan dunia dari perubahan iklim.

Surat tersebut diketahui ditandatangani bersama oleh Koizumi dan mantan Perdana Menteri Morihiro Hosokawa (1993-1994), Tomiichi Murayama (1994-1996), Yukio Hatoyama (2009-2010), dan Naoto Kan (2010-2011) .


Padahal Koizumi dan Kan saat menjabat termasuk sebagai pendukung pembangkit tenaga nuklir. Namun kini mereka terus gencar menyerukan anti nuklir yang terkemuka di Jepang sejak terjadinya bencana ledakan PLTN Fukushima pada Maret 2011 silam.

Hal itu dikatakan oleh Direktur Eksekutif IESRm Fabby Tumiwa. "Mempromosikan tenaga nuklir merupakan salah satu kebijakan yang dapat merusak tatanan negara. Ini layaknya menutup mata terhadap perubahan iklim."

"Kebijakan mempromosikan energi nuklir dapat merusak sistem kelangsungan hidup generasi masa depan," jelas Fabby membacakan isi surat yang dikirimkan lima mantan perdana menteri Jepang dalam Webinar, Jumat (11/3/2022).

Seperti yang diketahui, Indonesia sendiri menargetkan netral karbon atau net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Bahkan pemerintah tak memungkiri menjadikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebagai salah satu pembangkit energi hijau.

Fabby memandang dalam kebijakan energi seharusnya pemerintah lebih mengutamakan teknologi yang andal dan dapat dibangun dengan cepat, sehingga bisa mengatasi krisis iklim yang mendesak.

"Apabila pemerintah mengandalkan teknologi yang tidak reliable (andal) maka hanya akan menghabiskan sumber daya yang harusnya bisa digunakan untuk mendorong pengembangan energi lain yang lebih aman, reliable dan efektif mengatasi perubahan iklim," tuturnya.

Belajar dari pengalaman Jepang, Tatsujiro Suzuki, seorang Profesor di Research Center for Nuclear Weapons Abolition di Nagasaki University, mengemukakan bahwa kecelakaan PLTN Fukushima telah mengubah sektor energi dan persepsi publik Jepang.

Sebelum tragedi Fukushima, terdapat 54 unit PLTN yang beroperasi, namun jumlah ini jauh berkurang menjadi 10-unit pada tahun 2021.

Persepsi publik Jepang pun berubah drastis dari 87% yang beranggapan PLTN merupakan pembangkit listrik yang diperlukan menjadi hanya 24% pada 2013.

"Akibat kecelakaan tersebut, investasi terhadap keamanan dan biaya kecelakaan PLTN meningkat sehingga membuat biaya PLTN tidak lagi menjadi termurah di Jepang," jelas Suzuki dalam kesempatan yang sama.

Senada dengan Suzuki, M.V. Ramana, Professor dan Director of Liu Institute for Global Issues dari University of British Columbia menekankan bahwa era emas PLTN sudah lewat, sekitar 3 dekade yang lalu.

Menurutnya, banyak faktor yang mempengaruhi menurunnya pembangunan PLTN diantaranya biaya pembuatan reaktor terlalu mahal dibandingkan harga tenaga surya dan angin yang terus menurun

"Inovasi Small Modular Reactor (reaktor nuklir yang dirancang dalam ukuran kurang dari 300 MW dan terdiri dari modul/bagian yang dapat dibangun terpisah) juga tidak mampu menyelesaikan semua masalah dalam satu desain," jelas Ramana.

"Butuh produksi ratusan bahkan ribuan reaktor kecil (SMR) untuk dapat menekan harga produksi (per MW) agar setara satu reaktor besar, yang pada kenyataannya reaktor skala besar saat ini juga tidak kompetitif secara ekonomi terhadap matahari atau angin," kata Ramana melanjutkan.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Jepang Eksekusi Mati Pembunuh Yang Bergentayangan di Sosmed