Indonesia Korban Lonjakan Inflasi AS, Kas Negara Aman?

MAIKEL JEFRIANDO & Maesaroh, CNBC Indonesia
11 March 2022 14:16
Alamak AS 'Kepanasan'! Inflasi 7,5%, Tertinggi Sejak 40 Tahun
Foto: Infografis/Alamak AS 'Kepanasan'! Inflasi 7,5%, Tertinggi Sejak 40 Tahun/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Amerika Serikat (AS) mulai makan korban. Indonesia menjadi salah satunya. Bila tidak ada persiapan, persoalan yang ditimbulkan akan menjadi serius bagi kantong negara.

Seperti yang diumumkan Departemen Tenaga Kerja AS kemarin, inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (CPI) pada Februari melesat 7,9% year-on-year (yoy) lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,5%.

Inflasi pada bulan lalu itu padahal sudah menjadi yang tertinggi sejak Januari 1982 atau 40 tahun terakhir.

Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, mengungkapkan kondisi ini adalah efek tambahan dari situasi perang Rusia dan Ukraina yang mendorong kenaikan harga minyak dunia. Yellen memperkirakan warga AS akan merasakan inflasi sangat tinggi dan membuat tidak nyaman.

"Saya pikir banyak ketidakpastian yang terkait dengan perang Rusia dengan Ukraina, itu akan mempertajam inflasi. Saya tidak mau membuat prediksi apa yang akan terjadi pada semester II tahun ini. Kita kemungkinan akan melihat inflasi yang sangat tinggi dan tidak membuat nyaman," kata Yellen sebagaimana diwartakan CNBC International, Kamis (11/3/2022).

Tingginya inflasi memang sudah diperkirakan oleh The Fed, tetapi jika berlangsung lama tentunya akan menjadi masalah, dan The Fed bisa bertindak sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.

Kemungkinan tersebut diungkapkan langsung oleh ketua The Fed, Jerome Powell. Powell mengatakan perang Rusia-Ukraina sebagai game changer. Bukan hanya untuk perekonomian AS, tapi juga dunia.

"Ada peristiwa yang akan datang dan kita tidak tahun apa dampaknya terhadap perekonomian AS," kata Powell.

Situasi ini, membuat kenaikan yield US Treasury, untuk tenor 10 tahun kini berada di level 1,98%. sementara untuk 30 tahun tercatat 2,36%. Indonesia sebenarnya sudah merasakan dampaknya beberapa waktu lalu.

Saat lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jumlah yang dimenangkan oleh pemerintah mencapai Rp 6,2 triliun, lebih rendah dari target indikatif yang ditetapkan pemerintah sebelumnya sebesar Rp 11 triliun. Jumlah yang dimenangkan pada lelang hari ini juga menjadi yang terendah sepanjang tahun 2022.

Adapun penawaran yang masuk (incoming bids) pada lelang hari ini hanya mencapai Rp 15,3 triliun, atau yang menjadi terendah sepanjang tahun ini. Jumlah tersebut kurang dari setengah dari incoming bids yang masuk pada lelang sukuk 22 Februari lalu yakni Rp 33,51 triliun

Seretnya minat investor asing terlihat dari incoming bids asing yang hanya mencapai Rp 2,8 triliun pada lelang sukuk hari ini. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan bids asing yang masuk pada lelang sukuk dua pekan lalu yakni Rp 7,7 triliun.

Dwi menambahkan Indonesia masih menawarkan appetite yang menarik buat investor, termasuk dari sisi prospek ekonomi ataupun stabilitas nilai tukar rupiah. Imbal hasil sukuk Indonesia juga terbilang masih menarik. Dalam catatan DJPPR, yield sukuk seri PBS032 pada akhir Februari berada di kisaran 4,91% sementara pada awal Januari berada di 4,79%.

Dwi menambahkan pemerintah memutuskan hanya mengambil Rp 6,2 triliun dari bids yang masuk karena yield yang diminta investor terlalu tinggi.

"Kita harus lihat spread yield juga, disesuaikan dengan target kita. Saya rasa penurunan (bids) ini hanya temporer, ini akan membaik lagi," ujar Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Dwi Irianti Hadiningdyah kepada CNBC Indonesia.

David Sumual, Ekonom Bank BCA memperkirakan situasi ketidakpastian ini masih akan berlanjut dan mempengaruhi penerbitan SBN ke depan. Investor sepertinya lebih memilih posisi wait and see.

"Banyak ketidakpastian. Sebagian masih akan wait and see," ujarnya kepada CNBC Indonesia.

Lelang surat utang akan kembali dibuka oleh Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan untuk pekan depan dengan target Rp 20 triliun sampai Rp 30 triliun sebanyak 7 seri.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor tiga tahun turun sebesar 0,7 basis poin (bp) ke level 3,403%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara turun tipis 0,1 bp ke level 6,797%, dan yield SBN berjangka waktu 25 tahun melemah tipis 0,1 bp ke level 7,235%.

Pemerintah sepertinya masih enggan untuk melepas yield tinggi kepada investor. Semakin tinggi yield maka akan menjadi beban yang besar bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam membayar cicilan utang.

Ekonom Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja dalam program PROFIT CNBC Indonesia TV sebelumnya menyebutkan posisi APBN kini dalam keadaan baik. Sekalipun tidak dengan tambahan utang, pemerintah masih memiliki cadangan kas.

"APBN menurut saya masih oke, karena ada SILPA," ujarnya.

SILPA per akhir 2021 mencapai Rp 84,9 triliun. Pemerintah masih ada kesepakatan dengan Bank Indonesia (BI) lewat SKB 3 untuk mengamankan APBN dari kekurangan dana. Di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia dan komoditas lainnya akan menambah penerimaan negara.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular