Jokowi Tanya Ini ke Sri Mulyani, Tanda Harga BBM Bakal Naik?

Chandra G Asmara, Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
11 March 2022 12:53
Jokowi Lapor SPT (Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Jokowi Lapor SPT (Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mulai waspada atas naiknya harga minyak mentah dunia. Oleh karena itu, Presiden Jokowi juga mempertanyakan kenaikan harga minyak dunia itu kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

Presiden Jokowi menyatakan, bahwa saat ini semua negara tengah mengalami krisis energi tak terkecuali bahan bakar minyak (BBM). Maklum, perang Rusia dan Ukraina membuat sejumlah komoditas mengalami gangguan termasuk suplai minyak mentah dunia.

Rusia menjadi salah satu negara dengan ekspor minyak mentah terbesar di dunia atau tercatat ekspor minyak mentah dari Rusia mencapai sekitar 5 - 7 juta barel atau 12% ekspor ke seluruh dunia. Krisis energi dan melonjaknya harga minyak dunia itu juga dipicu atas sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS) atas penghentian impor minyak dari Rusia.

"Sekarang semua negara mengalami (kelangkaan energi). Ditambah perang, harga naik kali ljpat," kata Jokowi di Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (11/3/2022).

Jokowi mengatakan rata-rata harga minyak sebelumnya hanya US$ 60 per barel. Namun, harga si 'emas hitam' terus menanjak hingga menembus level US$ 130 per barel, kendati saat ini sudah mulai turun.

Jokowi mengatakan, kenaikan harga minyak sendiri telah membuat sejumlah negara melakukan penyesuaian. Harga bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah negara pun sudah mengalami kenaikan yang cukup tinggi.

"2 kali lipat semua negara harga jualnya ke masyarakat sudah naik. Kita di sini masih nahan-nahan," kata Jokowi.

"Bu menteri (Menteri Keuangan/Sri Mulyani Indrawati) saya tanya tahannya sampai berapa hari, kita nahan-nahan terus. Kelangkaan energi," tandas Jokowi.

Kenaikan harga minyak dunia memiliki dampak yang cukup besar terhadap kas keuangan negara, terutama realisasi penyaluran subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram.

Berdasarkan kalkulasi pemerintah, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel akan berdampak pada kenaikan subsidi minyak tanah sebesar Rp 49 miliar, LPGĀ Rp 1,47 triliun, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,56 triliun.

Dengan mengacu pada hitungan tersebut, maka bukan tidak mungkin beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa mencapai Rp 4,17 triliun.

Bahkan, dengan hanya melihat data terkini dan mempertimbangkan harga ICP, harga minyak mentah dunia sudah US$ 67 per barel di atas asumsi APBN. Beban yang ditanggung pun bisa mencapai Rp 270 triliun.

Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, berpendapat, kebijakan penetapan harga BBM harus dilihat dari latar belakang di mana pemerintah berupaya melindungi daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih akibat pandemi COVID-19.

Dengan demikian, menjaga inflasi domestik tetap rendah, agar daya beli masyarakat terjaga, menjadi salah satu tujuan dari pemerintah dalam menjaga harga BBM Pertalite.

"Kami menilai, dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli, namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahunnya harus terus disubsidi," ujar Joshua, Jumat (10/3/2022).

Menurut Josua, kebijakan subsidi BBM yang dilakukan setiap tahun menjadi kontraproduktif terhadap anggaran, mengingat subsidi BBM merupakan kegiatan konsumtif dan subsidi tersebut cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah. Selain itu, disparitas harga yang tinggi berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan tindakan menyalahgunakan subsidi seperti menjual ke industri, penyelundupan, dan sebagainya.

Josua menambahkan, ada dua justifikasi dari pemberian subsidi BBM jenis Pertalite dalam jangka pendek saat ini. Pertama, dengan kondisi pandemi COVID-19 banyak masyarakat rentan miskin dan menengah ke bawah yang semakin memburuk kondisi ekonominya di tengah pandemi ini.

Kelompok ini cenderung minim mendapatkan program perlindungan sosial dari pemerintah. Dengan demikian, mempertahankan daya beli kelompok ini menjadi penting agar pemulihan ekonomi terjaga. "Akan tetapi, apabila perekonomian kembali ke level normalnya, pemerintah dapat kembali menyesuaikan kebijakan subsidi BBM ini," katanya.

Justifikasi kedua, kata dia, kondisi harga minyak saat ini bisa dikatakan abnormal akibat dampak dari tensi geopolitik yang meningkat yakni perang antara Rusia-Ukraina. Ke depan, peningkatan tensi geopolitik ini diperkirakan kembali mereda dan pada akhirnya akan menurunkan harga minyak mentah dunia kembali ke rata-rata harga jangka panjangnya.

"Di tengah kondisi abnormal ini, pemerintah berupaya untuk menekan dampaknya pada perekonomian domestik dengan memberikan subsidi BBM Pertalite," ucapnya.

Saat ini, Pertalite memang belum menjadi BBM penugasan, namun apabila ke depan akan ditetapkan sebagai BBM penugasan, selisih antara biaya produksi dan harga jual penetapan sepenuhnya akan diganti oleh pemerintah.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waspada! Jokowi Akui Ada Kelangkaan Energi, Gimana RI?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular