Jokowi Deg-degan Soal Minyak, Harga Pertalite Layak Ditahan?

Chandra G Asmara, Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
11 March 2022 13:10
Pengendara motor mengatre untuk mengisi bahan bakar Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (17/9/2020). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pengendara motor mengatre untuk mengisi bahan bakar Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (17/9/2020). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mulai khawatir atas terus melonjaknya harga minyak mentah dunia. Akibat melonjaknya harga minyak dunia itu, Jokowi menyadari bahwa semua negara sudah meningkatkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terkecuali di Indonesia.

Yang dimaksud dengan Jokowi masih menahan harga BBM adalah BBM jesnis RON (90) yakni Pertalite dan juga RON 92 atau Pertamax.

"Semua negara harga jualnya ke masyarakat sudah naik kita disini masih nahan-nahan. Bu Menteri (Sri Mulyani) saya tanya tahannya sampe berapa hari, kita nahan-nahan terus," ungkap Presiden Jokowi, di Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (11/3/2022)

Sementara itu, beberapa kalangan menilai, keputusan pemerintah untuk mempertahankan harga Pertalite di tengah gejolak harga minyak dunia dinilai realistis untuk menjaga daya beli masyarakat.

Dalam jangka pendek kebijakan tersebut dinilai tepat dilakukan, akan tetapi tidak tepat apabila diterapkan dalam jangka panjang.

Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, berpendapat, kebijakan penetapan harga BBM harus dilihat dari latar belakang di mana pemerintah berupaya melindungi daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih akibat pandemi COVID-19.

Dengan demikian, menjaga inflasi domestik tetap rendah, agar daya beli masyarakat terjaga, menjadi salah satu tujuan dari pemerintah dalam menjaga harga BBM Pertalite.

"Kami menilai, dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli, namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahunnya harus terus disubsidi," ujar Joshua, jumat (11/3/2022).

Menurut Josua, kebijakan subsidi BBM yang dilakukan setiap tahun menjadi kontraproduktif terhadap anggaran, mengingat subsidi BBM merupakan kegiatan konsumtif dan subsidi tersebut cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah. Selain itu, disparitas harga yang tinggi berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan tindakan menyalahgunakan subsidi seperti menjual ke industri, penyelundupan, dan sebagainya.

Josua menambahkan, ada dua justifikasi dari pemberian subsidi BBM jenis Pertalite dalam jangka pendek saat ini. Pertama, dengan kondisi pandemi COVID-19 banyak masyarakat rentan miskin dan menengah ke bawah yang semakin memburuk kondisi ekonominya di tengah pandemi ini.

Kelompok ini cenderung minim mendapatkan program perlindungan sosial dari pemerintah. Dengan demikian, mempertahankan daya beli kelompok ini menjadi penting agar pemulihan ekonomi terjaga. "Akan tetapi, apabila perekonomian kembali ke level normalnya, pemerintah dapat kembali menyesuaikan kebijakan subsidi BBM ini," katanya.

Justifikasi kedua, kata dia, kondisi harga minyak saat ini bisa dikatakan abnormal akibat dampak dari tensi geopolitik yang meningkat yakni perang antara Rusia-Ukraina. Ke depan, peningkatan tensi geopolitik ini diperkirakan kembali mereda dan pada akhirnya akan menurunkan harga minyak mentah dunia kembali ke rata-rata harga jangka panjangnya.

"Di tengah kondisi abnormal ini, pemerintah berupaya untuk menekan dampaknya pada perekonomian domestik dengan memberikan subsidi BBM Pertalite," ucapnya.

Saat ini, Pertalite memang belum menjadi BBM penugasan, namun apabila ke depan akan ditetapkan sebagai BBM penugasan, selisih antara biaya produksi dan harga jual penetapan sepenuhnya akan diganti oleh pemerintah.

Akan tetapi, dengan Pertalite disubsidi, terdapat risiko peralihan konsumsi BBM dari sebelumnya BBM nonsubsidi ke BBM subsidi. Dengan demikian, terdapat potensi kenaikan jumlah konsumsi Pertalite di masa mendatang, apalagi jika disparitas harga cukup tinggi.

"Upaya kontrol tetap perlu dilakukan melalui pembatasan volume dan konsumsi, agar pemerintah mengetahui apakah terjadi kebocoran atau tidak dalam penyaluran BBM penugasan ini," ujarnya.

Sekadar diketahui, konsumsi Pertalite dalam dua tahun terakhir terus meningkat. Sepanjang 2021, konsumsi Pertalite mencapai 23 juta Kilo Liter (KL), naik 30% dibandingkan 2020 yang tercatat 18 juta KL. Tahun ini konsumsi Pertalite diperkirakan bertambah seiring gejolak harga minyak dunia yang menyebabkan kenaikan harga BBM jenis oktan tinggi.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bensin Premium dan Pertalite Mau 'Punah', Apa Manfaatnya?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular