
Warga Jakarta & Bandung Mulai Kurangi Belanja, Kamu Ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) terutama penyebaran varian Omicron dan panasnya krisis geopolitik Rusia-Ukraina sepertinya mulai membuat masyarakat was-was dan mengurangi pengeluaran untuk berbelanja. Menurunnya pengeluaran masyarakat untuk belanja terutama terjadi di wilayah-wilayah yang melaporkan kasus Covid-19 tinggi seperti Jakarta dan Bandung.
Sebagai catatan, pada 16 Februari 2022, kasus Covid-19 menembus 64.178. Angka tersebut adalah rekor tertinggi sejak pandemi melanda Indonesia Maret 2020 lalu. Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi dua episentrum penyebaran Covid-19 pada Februari.
Survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan kinerja penjualan eceran di tertahan pada Februari 2022. Indeks Penjualan Riil (IPR) periode Februari ada di 202,8. IPR memang masih naik 15,2% dibandingkan Februari tahun lalu (year-on-year/yoy). Namun, angka tersebut lebih rendah dibandingkan yang tercatat di Januari 2022 (209,6).
Penurunan penjualan terjadi di hampir semua kelompok seperti bahan bakar kendaraan bermotor, suku cadang dan aksesori, peralatan informasi dan komunikasi, perlengkapan rumah tangga lainnya, barang budaya dan rekreasi, serta kelompok makanan, minuman, dan tembakau.
Semua kelompok mengalami penurunan penjualan baik secara tahunan ataupun bulanan (month-to-month/mtm). Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi satu-satunya kelompok yang masih mengalami pertumbuhan secara tahunan.
"Kinerja penjualan eceran pada Februari 2022 diperkirakan melambat secara tahunan. Ini sejalan dengan turunnya permintaan masyarakat, pasokan yang lebih terbatas, dan kondisi cuaca yang kurang mendukung," tutur Erwin Haryono, Direktur Eksekutif Bank Indonesia, dalam siaran pers.
Halaman Selanjutnya --> Pengetatan Berimbas Pada Permintaan
Turunnya penjualan eceran pada Februari juga tercermin dari berkurangnya pergerakan masyarakat ke tempat belanja. Mengutip Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google, tingkat kunjungan masyarakat ke tempat perbelanjaan ritel dan rekreasi pada Februari 2022 rata-rata adalah 3,68% lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Lebih sepi dibandingkan Januari 2022 yang 7,45% di atas hari-hari biasa dan Desember 2021 yang 9,97% lebih tinggi ketimbang masa pra-pandemi.
Di sisi lain, aktivitas di dalam rumah pada Februari 2022 tercatat 9,23% di atas hari-hari sebelum pandemi. Lebih tinggi dibandingkan pada bulan sebelumnya yakni 5,28% di atas pra-pandemi.
Rendahnya mobilitas masyarakat di luar rumah sejalan dengan naiknya status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah wilayah sejak awal Februari, termasuk Jabodetabek yang naik status ke PPKM Level 3. IPR di Jakarta ada di level ke 47,8 pada Februari, turun dibandingkan Januari (48,4) ataupun Februari 2021 (56,7). IPR di Bandung tercatat 155,2 pada Februari, turun dibandingkan Januari 2022 (156,9) ataupun Februari 2021 (161,9). Bukan hanya Jakarta dan Bandung, IPR di seluruh kota yang disurvei Bank Indonesia menunjukkan adanya penurunan secara bulanan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kasus Covid-19 di luar Pulau Jawa memang belum menunjukkan adanya lonjakan kasus pada awal hingga pertengahan Februari. Kasus baru meluas ke luar Pulau Jawa mulai akhir Februari lalu. Namun, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, beberapa kota masih menunjukkan kenaikan IPR seperti Banjarmasin, Manado, dan Denpasar.
Berdasarkan periode-periode sebelumnya, penjualan ritel memang menunjukkan adanya penurunan signifikan saat kasus Covid-19 melambung. Hal tersebut tercermin dari loyonya penjualan ritel di bulan Juli 2021 saat gelombang serangan varian Delta mengganas di wilayah Tanah Air.
Halaman Selanjutnya --> Perang Jadi Ancaman Berikutnya
Serangan Rusia ke Ukraina Februari melambungkan harga-harga komoditas dari energi hingga pangan. Kondisi tersebut bisa berimbas pada naiknya harga produk impor ataupn produk yang menggantungkan bahan baku impor. Naiknya imported inflation ini bisa semakin menurunkan daya beli masyarakat sehingga konsumsi berkurang.
Morgan Stanley dalam laporannya When Geopolitics and Inflation Mix - a 1970s Throwback? mengingatkan jika perang Rusia-Ukraina akan berdampak besar terhadap produk makanan dan minuman non-alokohol Indonesia, jasa makanan, serta transportasi. "Komoditas pangan dan energi adalah salah satu penentu inflasi," tutur Deyi Tan, ekonomis Morgan Stanley dalam laporannya.
Menurut Morgan Stanley, komoditas pangan dan energi berkontribusi 9-40% terhadap inflasi di wilayah Singapura, India, Malaysia, Filipina, China, Thailand, Korea, Indonesia, Taiwan, dan Hong Kong. "Kita menghitung bahwa setiap 10% kenaikan harga pangan dan energi akan meningkatkan inflasi 0,9-4 persentase poin ke inflasi," ujarnya.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam laporan berjudul Ekonomi Indonesia di tengah Gejolak Rusia dan Ukraina mengatakan inflasi pada tahun 2022, diperkirakan akan meningkat sejalan pulihnya ekonomi.
Tekanan dari sisi pasokan juga masih tinggi, terimbas dari inflasi global (imported inflation). Dia mengingatkan inflasi harga bergejolak meningkat terutama akibat naiknya harga pangan, khususnya pada harga minyak goreng sebagai imbas dari naiknya harga minyak sawit mentah (CPO).
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana mengatakan dampak langsung dari perang Rusia-Ukraina ke sektor riil mungkin tidak terlalu besar. Dampak besar justru muncul dari kenaikan sejumlah harga komoditas berpotensi menambah tekanan pada inflasi domestik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae) Next Article Terungkap! Orang Kaya Mulai Belanja Ternyata Mitos Belaka...