
Minyak, Gas-Batu Bara Mahal, RI Ketiban Cuannya atau Sialnya?

1. Imbas dari Lonjakan Harga Minyak & Gas
Lonjakan harga minyak memang akan berdampak langsung pada kenaikan penerimaan di sektor hulu migas di Tanah Air. Pasalnya, asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) pada APBN 2022 ditetapkan sebesar US$ 63 per barel.
Dengan harga minyak dunia yang kini telah melesat ke US$ 127,98 per barel, artinya sudah dua kali lipat dari asumsi ICP yang telah ditetapkan. Bila ini bertahan lama, maka penerimaan negara dari penjualan minyak juga akan terdongkrak.
Dengan asumsi ICP US$ 63 per barel, dan produksi minyak terangkut (lifting) sebesar 703 ribu barel per hari (bph) pada tahun ini, penerimaan negara dari hulu migas ditargetkan mencapai US$ 10 miliar atau sekitar Rp 143 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$).
Meski pemerintah akan ketiban berkah dari lonjakan harga minyak mentah dunia, namun perlu dicermati dengan seksama terkait produksi dan konsumsi minyak RI secara keseluruhan.
Dari sisi produksi, produksi minyak RI terus menurun setiap tahunnya.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi produksi minyak terangkut (lifting) pada 2021 hanya sebesar 660 ribu barel per hari (bph), lebih rendah dari target 705 ribu bph. Sementara realisasi lifting gas pada 2021 sebesar 5.501 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), lebih rendah dari target 5.638 MMSCFD.
Sementara tahun 2022 ini, lifting minyak ditargetkan mencapai 703 ribu bph dan gas 5.800 MMSCFD.
Adapun dari produksi minyak tersebut belum semuanya digunakan di dalam negeri, masih ada bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau produsen migas yang diekspor.
Sementara dari sisi konsumsi minyak nasional, Indonesia mengonsumsi minyak sekitar 1,5-1,6 juta bph saat sebelum pandemi Covid-19 melanda pada 2020 lalu. Sedangkan pada 2020 saat Covid-19 melanda, konsumsi minyak RI turun sekitar 24,4% menjadi 1,23 juta bph dari 1,63 juta bph pada 2019, mengutip data BP Statistical Review 2021.
Dengan asumsi kondisi ekonomi mulai pulih seperti pra pandemi, maka artinya RI masih akan impor minyak sekitar 800 ribu-1 juta bph. Artinya, Indonesia lebih banyak impor minyak daripada produksi yang dihasilkan di dalam negeri.
Negara tentunya akan mengeluarkan dana lebih besar untuk mengimpor daripada "cuan" yang dihasilkan dari lonjakan harga minyak ini.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro. Dia pun menilai bahwa kenaikan pendapatan di hulu migas masih belum akan menutupi kekurangan biaya di hilir. Porsi impor yang sudah lebih besar dibandingkan produksi minyak di dalam negeri menjadi salah satu pemicunya.
"Saya kira kenaikan pendapatan di hulu sudah tidak dapat menutup biaya di hilir. Porsi impor saat ini sudah lebih besar dibanding produksi dalam negeri," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022), sambil menambahkan bahwa kondisi ini artinya membuat kenaikan harga BBM Pertalite dan Pertamax tak akan terhindarkan lagi.
Hal senada diungkapkan Tumbur Parlindungan, Praktisi Migas. Dia menilai, kondisi harga minyak yang tinggi menyebabkan Indonesia harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan migas, baik LPG dan bahan bakar lainnya.
"Dengan harus mengimpor 800 ribu sampai 1 juta barrel per day ini akan memengaruhi trade balance Indonesia dan bila terjadi dalam waktu yang lama (> 6 bulan) akan memengaruhi nilai tukar mata uang rupiah dengan US dolar. Dampak lainnya akan meningkatkan inflasi di Indonesia karena meningkatnya harga bahan bakar akan memengaruhi biaya logistik ataupun biaya-biaya lainnya yang mendukung perekonomian seperti biaya produksi, distribusi dan lainnya," paparnya kepada CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022).
Imbasnya, keduanya menilai ini akan berdampak pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri atau subsidi energi yang membengkak.
Selain mengimpor minyak, Indonesia juga mengimpor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Tingkat impor terhadap konsumsi LPG Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2020, tingkat ketergantungan impor LPG mencapai 79,7% di mana impor sebesar 6,4 juta ton. Sementara konsumsi sebesar 8 juta ton.
Tingkat ketergantungan ini sudah naik tinggi dibandingkan satu dekade lalu sebesar 48,9%.
Biaya yang dikeluarkan oleh Indonesia untuk impor LPG tidaklah sedikit. Kisarannya mencapai Rp 80-an triliun, ungkap Presiden Joko Widodo saat peresmian pembangunan atau groundbreaking pabrik gasifikasi batu bara, Senin (24/1/2022).
Perang Rusia-Ukraina juga telah memicu kenaikan harga LPG. Harga Contract Price Aramco (CPA) pada Februari lalu telah mencapai US$ 775 per metrik ton, naik 21% dari harga rata-rata sepanjang 2021. Imbasnya, Pertamina turut menaikkan harga LPG non subsidi di masyarakat.
PT Pertamina (Persero) secara resmi menaikkan harga LPG non subsidi seperti tabung ukuran 5,5 kilo gram (kg) dan 12 kg per hari Minggu, 27 Februari 2022.
Harga LPG non subsidi yang berlaku mulai 27 Februari 2022 ini sekitar Rp 15.500 per kg. Ini merupakan kenaikan harga LPG non subsidi untuk kali kedua sejak akhir Desember 2021 lalu.
Perlu diketahui, harga LPG non subsidi dibanderol Rp 11.500 per kg, kemudian naik pada Desember 2021 menjadi Rp 13.500 dan kini naik lagi menjadi Rp 15.500/kg.
Terbaru, CP Aramco untuk pengiriman April bahkan melejit ke US$ 961 per ton. Atau untuk pengiriman enam bulan mendatang atau September 2022 bahkan mencapai US$ 841 per ton.
Dengan Indonesia yang masih kecanduan impor LPG, tentunya lonjakan harga LPG ini juga merugikan negeri ini.
Sementara dari sisi gas alam, baik gas pipa maupun gas alam cair (LNG), Indonesia masih kelimpahan pasokan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemanfaatan gas domestik pada 2021 sebesar 66%. Artinya, sebesar 34% sisanya masih diekspor.
Adapun lonjakan harga gas alam di pasar internasional hanya terdampak pada gas yang diekspor, terutama LNG. Sementara harga gas untuk kepentingan dalam negeri, baik sejumlah industri tertentu dan pembangkit listrik sudah dipatok sebesar US$ 6 per MMBTU di tingkat konsumen akhir.
Lonjakan harga gas alam akan mendatangkan keuntungan bagi RI. Namun sayangnya, ini bertolak belakang dengan Indonesia yang masih mengimpor LPG.
(wia)