Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat Joe Biden akhirnya resmi melarang impor minyak, gas alam, dan sumber energi lainnya dari Rusia per Selasa (08/03/2022) malam waktu setempat.
Langkah ini merupakan kebijakan sebagai respons atas masih memanasnya serangan Rusia terhadap Ukraina.
"Hari ini saya mengumumkan AS menargetkan 'arteri' utama ekonomi Rusia. Kami melarang semua impor minyak dan gas serta energi Rusia," kata Biden dalam sambutannya dari Gedung Putih, sebagaimana dikutip dari CNN International, Rabu (09/03/2022).
"Itu berarti minyak Rusia tidak akan lagi diterima di pelabuhan AS dan rakyat Amerika akan memberikan pukulan kuat lainnya ke 'mesin perang' Putin," tambahnya.
Tak hanya AS, Inggris pun juga berencana menyetop impor migas dari Rusia secara bertahap.
"Pukulan selanjutnya bagi rezim Putin atas serangan ilegal mereka ke Ukraina, Inggris tidak akan lagi tergantung kepada minyak dari Rusia tahun ini. Bekerja sama dengan pelaku usaha, kami yakin bisa melakukan ini karena masih ada waktu bagi pebisnis untuk melakukan penyesuaian diri dan konsumen pun terlindungi," papar Boris Johnson, Perdana Menteri Inggris, dikutip dari Reuters.
Kebijakan negara adikuasa tersebut langsung direspons oleh pasar. Pada Rabu (9/3/2022) pukul 06:57 WIB, harga minyak jenis Brent berada di US$ 127,98 per barel, melesat 3,8% dari hari sebelumnya sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juli 2008.
Sementara yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya US$ 125,39 per barel, naik 1,37% dan menjadi yang termahal juga sejak Juli 2008.
Sebelumnya, JPMorgan menyampaikan bahwa harga minyak diperkirakan bisa tembus US$ 185 per barel pada akhir tahun bilang Perang Rusia-Ukraina ini terus berlanjut.
Sementara Rusia sendiri menyebut harga minyak bisa melonjak hingga di atas US$ 300 per barel bila sejumlah negara Barat memberikan sanksi impor bagi komoditas energi dari Rusia.
Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak, seperti dikutip dari CNBC, Selasa (08/03/2022), mengancam akan memotong pasokan gas ke Eropa jika negara-negara Barat memberikan sanksi impor energi, memperingatkan bahwa hal itu dapat menyebabkan harga minyak melonjak di atas $300 per barel.
Lantas, seberapa besar kecanduan negara-negara Barat terhadap minyak asal Rusia ini? Simak di halaman berikutnya.
Produksi minyak Rusia merupakan terbesar ketiga dunia, setelah Amerika Serikat dan Arab Saudi.
Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, produksi minyak Rusia pada 2020 tercatat mencapai 10,67 juta barel per hari (bph), turun 8,7% dari 2019 yang sebesar 11,68 juta bph.
Kontribusi produksi minyak dari Rusia ini mencapai 12,1% dari total produksi minyak dunia pada 2020. Produksi minyak dunia pada 2020 mencapai 88,39 juta bph, turun 6,9% dari 2019 yang sebesar 94,96 juta bph.
Meskipun menjadi produsen minyak terbesar ketiga dunia, namun konsumsi minyak Rusia tidak lah besar. Pada 2020 konsumsi minyak Rusia tercatat "hanya" 3,24 juta bph, turun 4,6% dari 2019 yang sebesar 3,39 juta bph. Adapun porsi konsumsi minyak Rusia ini cuma 3,7% dari total konsumsi minyak dunia pada 2020.
Total konsumsi minyak dunia pada 2020 tercatat mencapai 88,48 juta bph, turun 9,3% dari 2019 97,59 juta bph.
Ini artinya, konsumsi minyak Rusia hanya sekitar 30% dari total produksi minyak nasionalnya. Artinya, sekitar 70% atau 7,43 juta bph minyak yang diproduksikan negara pimpinan Vladimir Putin ini diekspor ke negara lain.
Adapun salah satu negara pengimpor minyak asal Rusia ini yaitu Amerika Serikat. Menurut Administrasi Informasi Energi (EIA) AS, dikutip dari Reuters, Amerika Serikat mengimpor rata-rata lebih dari 20,4 juta barel minyak mentah dan produk olahan per bulan pada tahun 2021 dari Rusia, atau sekitar 8% dari impor bahan bakar cair AS, di mana impor minyak mentah hanya sekitar 3%.
Meski AS merupakan produsen minyak terbesar di dunia, namun konsumsinya tetap lebih tinggi dari produksinya.
Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, produksi minyak AS pada 2020 tercatat sebesar 16,48 juta bph, turun 3,5% dari 2019 17,07 juta bph. Adapun porsi produksi minyak AS dari total produksi minyak dunia yakni mencapai 18,6%.
Sementara dari sisi konsumsi, konsumsi minyak AS pada 2020 tercatat mencapai 17,18 juta bph, turun 11,8% dari 2019 19,47 juta bph. Adapun konsumsi minyak AS tercatat berkontribusi sebesar 19,4% dari total konsumsi minyak dunia, juga merupakan konsumen minyak terbesar di dunia.
Lantas, bagaimana dengan Eropa?
Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, konsumsi minyak di negara-negara Eropa (di luar Rusia dan negara-negara pecahan Uni Soviet) pada 2020 tercatat memang jauh lebih besar dibandingkan produksinya.
Konsumsi minyak total Eropa pada 2020 tercatat mencapai 12,79 juta bph, turun 13,8% dari 2019 yang sebesar 14,83 juta bph. Adapun konsumsi minyak di seluruh Eropa tercatat sebesar 14,5% dari total konsumsi minyak dunia.
Sementara produksi minyak total Eropa pada 2020 "hanya" sebesar 3,58 juta bph, naik 4,5% dari 2019 yang sebesar 3,42 juta bph. Porsi produksi minyak dari Eropa cuma 4% dari total produksi minyak dunia.
Sejumlah negara Eropa yang masih memproduksi minyak dalam jumlah besar antara lain Denmark, Italia, Norwegia, Rumania, dan Inggris.
Dengan demikian, negara-negara Eropa juga membutuhkan impor minyak sekitar 9,21 juta bph.
Berikut negara-negara dengan konsumsi minyak terbesar dunia:
1. Amerika Serikat, sekitar 17,18 juta bph (19,4%)
2. China, sekitar 14,22 juta bph (16,1%)
3. India, sekitar 4,67 juta bph (5,3%)
4. Jepang, sekitar 3,27 juta bph (3,7%).