Ukraina yang Perang, Pabrik-pabrik di RI yang Nangis Darah
Jakarta, CNBC Indonesia - Eskalasi ketegangan akibat perang Rusia-Ukraina mendongkrak harga minyak dunia ke level rekor tahunan. Bahkan, Rusia mengeluarkan wanti-wanti kepada negara-negara Barat yang menjatuhkan sanksi atas mereka bahwa harga minyak bisa melesat tembus US$300 per barel. Kondisi in dikhawatirkan menambah tekanan bagi industri hilir di dalam negeri, apalagi jika daya beli tidak terdongkrak.
"Yang kita khawatirkan efek dari hilirnya karena mereka yang paling cepat terkena dampaknya. Pertama, harga-harga bahan baku untuk industri makanan dan minuman saat ini mengkhawatirkan," kata Sekjen Asosiasi Industri Aromatik, Olefin & Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono kepada CNBC Indonesia, Selasa (8/3/2022).
Kedua, dia menambahkan, harga BBM juga sudah naik akibat lonjakan harga minyak dunia. Dan tentu saja menaikkan ongkos logistik.
Pada sesi perdagangan 8 Maret 2022, pukul 23.54 WIB, data tradingeconomics menunjukkan, harga minyak jenis WTI bergerak di rentang US$127,6 per barel sementara jenis Brent di kisaran US$131,6 per barel.
Akibatnya, harga bahan baku plastik melonjak hingga berkisar US$1.500 - 1.800 per ton, untuk jenis polypropylene hingga LDPE. Jika harga minyak terus menanjak bahkan ke atas US$300 per barel, kata dia, harga bahan baku bisa melesat hingga dua kali lipat dari saat ini.
Pergerakan harga minyak dunia saat ini, imbuh dia, memicu kewaspadaan. Meski, dia menambahkan, tidak akan menyebabkan anjloknya kapasitas produksi di industri hulu.
"Efeknya ini ke industri hilir, termasuk makanan dan minuman olahan. Kalau sampai mereka tertekan, misalnya makanan dan minuman menurunkan prospek pertumbuhan tahun ini dari 8% ke 6%. Berarti daya beli turun," lanjutnya.
Jika itu terjadi, kata dia, permintaan akan turun. Dan memicu efek domino hingga ke hulu.
"Tapi, jika daya beli terangkat, berarti selamat. Karena itu, pemerintah harus merespons kondisi saat ini dengan cepat. DPR juga harus berani mengajukan usulan supaya pemerintah bergerak cepat sehingga kita tidak kehilangan momentum lonjakan harga komoditas," kata Fajar.
"Saya ke lapangan ke daerah-daerah. Banyak permintaan gudang, makanan frozen naik, keramik naik. Petani di daerah menikmati lonjakan harga komoditas, seperti sawit. Berarti masih ada daya beli, masih bagus," imbuhnya.
Untuk mempertahankan kondisi tersebut, mencegah anjloknya daya beli, saatnya pemerintah agresif memberikan subsidi kepada masyarakat. Toh, ujarnya, pemerintah sudah mendapat gain besar dari lonjakan harga komoditas.
"Jaga sebelum turun. Caranya, naikkan pendapatan melalui bea keluar ekspor komoditas. Kalau nanti sudah normal, kembalikan lagi. Jadi, pemerintah punya uang untuk memberikan subsidi kepada masyarakat, termasuk petani yang tidak menikmati lonjakan komoditas. Pemerintah naikkan bea keluar atas ekspor nikel yang hari ini melesat cetak rekor. Saya rasa dikenakan tambahan 5% tidak akan berpengaruh," kata Fajar.
Menaikkan tarif bea keluar, lanjutnya, harus dilakukan segera sehingga tidak kehilangan momentum.
"Pengusaha batu bara, nikel, CPO ini kan sudah mendapat windfall profit, jadi pemerintah bisa segera menaikkan pendapatannya. Sekarang kesempatannya jadi pemerintah bisa memberikan subsidi bagi masyarakat. Daya beli terjaga. Di sini perlunya koordinasi Menteri Koordinator karena pasti ada ego sektoral," katanya.
Sebab, kata Fajar, jika daya beli tidak dijaga dan anjlok, akan berdampak ke berbagai sektor. Hingga memicu terjadinya gejolak sosial.
"Gangguan daya beli di hilir yang akan berdampak ke hulu. Kalau soal harga bahan baku yang melonjak, industri tetap akan beli karena butuh. Tapi di hilir itu penngaruh daya beli sangat cepat," kata Fajar.
(dce/dce)