Daftar Harga Pangan yang 'Terbang' Gegara Perang

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
Selasa, 08/03/2022 12:55 WIB
Foto: Pedagang tempe melayani pembeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (15/2/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia-Ukraina berdampak pada memanasnya lonjakan harga-harga komoditas yang tengah terdongkrak akibat efek domino pandemi Covid-19 dan gangguan cuaca. Triple combo yang tak terbendung.

Apalagi, kedelai adalah komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan, dan energi.

Harga kedelai menjadi salah satu komoditas yang lanjutkan penguatan sejak perang Rusia-Ukraina meletus. Padahal, harga kedelai juga sebenarnya sudah bertengger di level tinggi akibat aksi borong Tiongkok hingga 100 juta ton di tahun 2021. Belum lagi, terjadi gangguan cuaca menyebabkan menyusutnya produksi di negara pemasok utama, seperti Argentina.


Sejak akhir 2021, harga kedelai terus menanjak dari US$11,78 per bushel hingga saat ini mencapai US$16,78 per bushel pada 8 Maret 2022. Angka ini sedikit melandai setelah cetak rekor di atas US$12,06 per bushel, tertinggi sejak Oktober 2012.

Akibatnya, harga kedelai impor di dalam negeri ikut terbang. Per 7 Maret 2022 ke level Rp13.400 per kg, meski turun dibandingkan 4 Maret 2022 yang di Rp13.400, harga tersebut masih melonjak dibandingkan awal Januari 2022 yang masih Rp12.400.

Perang yang menyebabkan pasokan minyak nabati bunga matahari dari kawasan Laut Hitam terhenti dan mendorong pasar beralih ke sumber alternatif minyak nabati, yakni minyak sawit (CPO) dan kedelai.

Mengacu chart tradingeconomics, harga CPO pada 3 Maret 2022 cetak rekor di MYR6.808 per ton. Pada sesi pagi perdagangan 8 Maret 2022, harga CPO diperdagangkan di kisaran MYR6.660 per ton.

Pada saat bersamaan, Malaysia merilis produksi CPO bulan Februari 2022 turun, sementara Indonesia mulai memberlakukan kebijakan DMO untuk ekspor CPO, RBDPO, dan biodiesel. Kebijakan DMO diharapkan bisa menekan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri, meski kemudian diikuti dengan kelangkaan minyak goreng di pasar.

Ukraina dan Rusia yang tengah berperang juga pemasok gandum dunia. Konflik kedua negara menambah tekanan di pasar gandum dunia yang menghadapi gangguan pasokan akibat cuaca dan efek domino pandemi Covid-19.

Meski diakui belum memicu lonjakan harga, nyatanya di pasar global, harga gandum trus cetak rekor, meski saat ini ada penurunan. Pada sesi perdagangan 7 Maret 2022, harga kedelai sempak meroket ke US$12,52 per bushel, dan ke sesi perdagangan 8 Maret 2022 melandai ke US$11,84 per bushel.

Di dalam negeri, industri pengguna gandum, yakni tepung terigu sebenarnya sudah menaikkan harga, sebelum perang Rusia-Ukraina pecah. Produsen terigu nasional mengaku masih belum terjadi kepanikan atau tren kenaikan harga terigu lanjutan akibat perang.

Hanya saja, importir gandum khusus untuk pakan ternak mengaku, telah kesulitan melakukan pembelian untuk kuartal-II tahun 2022. Itu pun dengan harga fantastis. Kondisi ini dikhawatirkan memicu kenaikan harga pakan ternak yang saat ini juga sedang dalam tren naik.

Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)
Ilustrasi Kelapa Sawit (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)

Perang Rusia-Ukraina juga dikhawatirkan semakin mendongkrak harga kargo yang sudah naik 9-10 kali lipat dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Kenaikan ongkos pengapalan yang berlipat akan mendongkrak harga gula tetap tinggi.

Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Gula (Ikagi) Aris Toharisman, biaya freight (kargo) sekarang rata-rata US$70 per ton untuk AS termasuk Brasil, kalau Australia itu sekitar US$40 per ton, sementara Thailand US$25 per ton.

"Perang Rusia-Ukraina ini pun mendongkrak lagi harga freight. Sekarang sudah naik 20%. Tapi, kalau perang lanjut bisa-bisa freight naik lagi 2 kali lipat dari sekarang," ujar Aris kepada CNBC Indonesia, Senin (7/3/2022).

Karena itu, Aris menambahkan, importir gula sebaiknya tidak menunggu hingga tarif kargo turun dan segera merealisasikan pemasukan gula. Dengan begitu bisa mengisi kekosongan stok di dalam negeri.

"Sekarang kondisinya tidak pasti. Harga gula berfluktuasi dan biaya freight naik terus," kata Aris.

Terbaru, perang Rusia-Ukraina mendongkrak harga minyak dunia ke level tertinggi 10 tahun ke US$121,05 per barel di sesi pagi perdagangan 8 Maret 2022.

Dan berdampak ke harga komoditas lainnya, termasuk bahan baku tekstil berupa polyester. Selain itu, harga resin plastik juga diprediksi bakal meledak hingga US$100-200 per ton.

Kenaikan harga resin atau biji plastik akan menyebabkan harga produk turunannya naik. Meski tergantung komposisi dan jenis industrinya. Dimana industri pengguna resin atau biji plastik adalah kemasan makanan dan minuman olahan, kemasan produk konsumsi dan perlengkapan rumah tangga, peralatan rumah tangga termasuk elektronik dan otomotif, infrastruktur, tekstil, hygiene, hingga medis.

"Tentu saja harga bahan baku jadi naik. Jika harga minyak dunia terus naik tembus US$100 per barel, harga resin plastik bakal naik sekitar US$100-200 per ton dari saat ini berkisar US$1.300 per ton," kata Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono kepada CNBC Indonesia, Selasa (1/3/2022).

Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo mengatakan, parlemen sejatinya sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah khususnya Kementan soal pentingnya produksi pangan untuk ketahanan pangan nasional. Bahkan, sebelum datangnya pandemi dan konflik Rusia - Ukraina yang membuat harga komoditas pangan terdongkrak.

"Inikan selalu menjadi satu kontroversi. Kalau kita mengatakan produksi pangan kita baik kenapa Indonesia mesti mengimpor. ini yang harus dievaluasi. jangan kita bilang surplus, tetapi barangnya tidak ada. Kalau memang ada surplus, barangnya ada dimana? Ayo kita cek dan lihat secara bersama-sama. kita tidak cukup hanya dengan statemen," tegasnya.

Melihat hal ini, Firman mempertanyakan kinerja otoritas pertanian yang seharusnya fokus mengamankan produksi pangan.

"Kalau kita tidak menyiapkan diri sebaik-baiknya maka akan muncul dua krisis besar di dunia ini yaitu krisis energi dan juga krisis pangan," ujarnya.

Ia melihat, produksi pangan Indonesia belum bisa diharapkan. Menurutnya, untuk mencapai swasembada pengan memang bukan perkara mudah. Tapi, Indonesia harus mempersiapkan dengan maksimal.

Langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah, kata Firman, adalah menginventaris seluruh lahan yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produksi pangan.

"Ukurannya sangat sederhana. Kalau 2019 yang lalu, anggaran (Kementan) kan sekitar Rp6 triliun, sekarang sudah puluhan triliun. Dengan anggaran puluhan triliun itu sangat mudah mengukurnya. Kementan itu outputnya produksi pangan, kalau sampai sekarang itu kita masih impor, berarti itu kegagalan, ada miss management," tandasnya.

Ia lantas merujuk pernyataan PBB yang sempat merilis soal pentingnya mengantisipasi kebutuhan pangan, sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat signifikan. Negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia pun diminta bersiap karena diyakini akan lebih merasakan dampaknya.

"Kita tidak boleh bergantung pada negara lain karena impor," ucapnya.


(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Jurus Mentan Genjot Produksi Gandum dan Kedelai RI