Internasional

India Pusing 7 Keliling, Rekor Panen Jagung-Beras Malah Bikin Masalah

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
12 August 2025 19:30
Seorang buruh tani minum air saat istirahat di tengah pekerjaan di sawah pada hari musim panas di Karnal di negara bagian utara Haryana, India, 3 Juni 2024. (REUTERS/Bhawika Chhabra)
Foto: Sawah di India (REUTERS/Bhawika Chhabra)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana India untuk mengurangi impor minyak yang mahal mulai menemui kegagalan. Hal ini karena residu etanol yang akhirnya membanjiri pasaran dan menimbulkan masalah baru.

Berkat rekor panen jagung dan beras, New Delhi menggunakan lebih banyak biji-bijian tersebut untuk membuat etanol demi mencapai target pencampuran biofuel 20% dengan bensin. Namun, proses ini menghasilkan Distillers Dried Grains with Solubles (DDGS), produk sampingan kaya protein yang membanjiri pasar pakan ternak.

Melimpahnya DDGS melemahkan permintaan akan bungkil minyak dan akhirnya justru akan menekan harga biji-bijian penghasil minyak, dan mendorong para petani di negara Asia Selatan ini untuk menanam lebih banyak jagung dan beras sebagai pengganti kedelai dan kacang tanah. Hal ini terjadi meskipun pemerintah New Delhi gencar mendorong penanaman biji-bijian penghasil minyak demi mengurangi impor.

"DDGS ini benar-benar masalah," kata Aashish Acharya, wakil presiden di Patanjali Foods Ltd, salah satu pengolah kedelai terkemuka, kepada Reuters, Selasa (12/8/2025).

"Pembuat pakan ternak mengganti bungkil minyak dengan DDGS karena harganya lebih murah," tambahnya.

Pergeseran ini terlihat dari data penanaman pemerintah. Per 8 Agustus, lahan biji-bijian penghasil minyak, termasuk kedelai dan kacang tanah, turun 4% dari tahun lalu, sementara lahan jagung melonjak 10,5% ke rekor tertinggi.

Madhukar Londhe, seorang petani di Nashik, negara bagian Maharashtra, mengatakan dia telah mengurangi lahan kedelai dari enam hektar menjadi satu, menanami sisanya dengan jagung. Jagung memiliki manfaat tambahan berupa batang yang bisa menjadi pakan bagi lima sapi perah miliknya.

Tak hanya Londhe, hal ini juga dirasakan petani lainnya. Mengutip data Reuters, hampir dua lusin petani di daerah tersebut mengatakan mereka melakukan hal serupa.

"Harga kedelai terlalu rendah, jadi saya bahkan tidak bisa menutupi biaya dalam dua tahun terakhir. Jagung lebih menguntungkan bagi saya tahun lalu, jadi saya memutuskan untuk menanam lebih banyak," kata Londhe.

Penurunan penanaman biji-bijian penghasil minyak menjadi kekhawatiran bagi India. Tahun lalu negara ini menghabiskan lebih dari US$17 miliar (Rp275,3 triliun) untuk impor minyak nabati dan berupaya keras untuk mengurangi ketergantungan itu.

Impor minyak nabati telah naik menjadi 16 juta ton pada tahun 2023-2024 dari 4,4 juta ton dua dekade lalu. Ini menjadikan India pembeli minyak nabati terbesar di dunia, seperti minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia, serta minyak kedelai dan minyak bunga matahari dari Argentina, Brasil, Rusia, dan Ukraina.

New Delhi berambisi meningkatkan produksi minyak nabati domestik menjadi 25,45 juta ton pada tahun 2030-2031, naik dari 12,7 juta ton saat ini. Jumlah ini cukup untuk memenuhi 72% dari proyeksi permintaan.

"Mengingat pasokan minyak nabati global yang semakin ketat, impor tambahan dari India akan mendorong harga menjadi lebih tinggi," kata seorang pejabat di Kuala Lumpur dari perusahaan produsen minyak sawit terkemuka.

Kelebihan Bungkil, Kekurangan Minyak

India, importir dan konsumen minyak mentah terbesar ketiga, baru-baru ini mencapai tujuannya untuk meningkatkan pencampuran etanol dalam bensin menjadi 20%. Dua tahun lalu, sebelum India mulai menggunakan jagung dan beras dalam skala besar karena kekurangan pasokan tebu sebagai bahan baku utama etanol, tingkat pencampurannya hanya 12%.

Bahkan sebelum produksi etanol mulai menciptakan kelebihan DDGS, India sudah berjuang dengan surplus bungkil minyak. Permintaan per kapita untuk pakan ternak jauh lebih rendah dari rata-rata global karena sebagian besar dari 1,4 miliar penduduknya adalah vegetarian karena alasan agama dan budaya, dan sebagian besar pemakan daging hanya mengonsumsinya sesekali.

Hal itu mendorong India mengekspor kelebihan bungkil minyak ke negara-negara seperti Korea Selatan, Vietnam, Thailand, dan Bangladesh. Namun, ekspor bungkil minyak semakin sulit setiap tahun karena harganya naik untuk mendukung petani biji-bijian penghasil minyak.

"Tahun ini, beberapa negara pengimpor bungkil India telah berkomitmen untuk membeli lebih banyak dari AS, yang berarti mereka akan membeli lebih sedikit dari India," kata seorang dealer di Mumbai dari sebuah perusahaan perdagangan global.

Seorang pengusaha pengolahan minyak di Lucknow, India utara, Ajay Jhunjhunwala, memperkirakan bahwa dari hasil DDGS tahun ini, hanya sekitar setengahnya yang akan dikonsumsi di dalam negeri.

"DDGS telah memperburuk masalah kelebihan bungkil," kata Jhunjhunwala.

"Kecuali masalah itu diperbaiki, meningkatkan produksi biji-bijian penghasil minyak domestik dan pasokan minyak nabati akan sulit," pungkasnya.


(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bahan Bakar Baru Pengganti BBM Digencarkan, Ini Keuntungannya Buat RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular