Jika Perang Dunia 3 Pecah, Ekonomi Dunia Bakal 'Kiamat'?
Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik antara Rusia dan Ukraina yang terjadi sejak Februari 2022 lalu dapat berdampak pada perekonomian dunia jika semakin lama terjadi. Seteru dua negara ini bahkan bisa menimbulkan dampak besar apabila berujung pada terjadinya perang dunia ketiga.
Saat ini, para ekonom dan analis sepakat dampak konflik Ukraina dan Rusia akan dirasakan di sejumlah pasar. Di luar pasar saham dan pasar keuangan, krisis telah mendorong naiknya harga minyak dan gas dalam kurun beberapa pekan terakhir. Kenaikan harga logam utama yang digunakan untuk segala hal mulai dari pembuatan mobil dan elektronik hingga peralatan dapur dan konstruksi juga mulai terjadi.
Mengutip Business Leader, dampak negatif perang dunia ketiga-jika nanti terjadi-bisa dirasakan oleh para pelaku ekonomi terutama di sektor fesyen. Perang dunia ketiga diprediksi tidak berdampak banyak pada industri manufaktur.
Melansir ABC News, dampak besar juga akan dirasakan dunia apabila konflik antara Ukraina dan Rusia terus berlanjut. Salah satunya, dalam jangka pendek perang dua negara ini akan mengerek harga minyak bumi dan gas.
Kenaikan harga migas bisa terjadi karena Rusia saat ini adalah pemasok 30% kebutuhan minyak di Eropa, dan 35% gas alam bagi Benua itu. Harga minyak diprediksi bisa mencapai US$ 125 per barel jika perang tidak dihentikan.
Selain itu, perang dua negara ini juga bisa berdampak pada kelangkaan pangan terutama yang berbahan dasar gandum. Alasannya, Rusia saat ini dikenal sebagai negara produsen gandum terbesar di dunia.
Berbeda dengan analisa Business Leader, ABC News memprediksi industri manufaktur global tidak akan kebal dari konflik atau sanksi terhadap Rusia. Pangsa ekspor nikel global Rusia diperkirakan sekitar 49%, paladium 42%, aluminium 26%, platinum 13%, baja 7%, dan tembaga 4%.
"Menghilangkan setengah dari ekspor nikel global untuk peralatan dapur, ponsel, peralatan medis, transportasi, bangunan, dan listrik; paladium untuk catalytic converter, elektroda, dan elektronik; dan seperempat aluminium untuk kendaraan, konstruksi, mesin, dan pengemasan akan menghasilkan tekanan besar pada harga," Rabobank memperingatkan, dikutip Sabtu (5/3/2022).
Rabobank memperkirakan bahwa baik perang atau sanksi berat dapat menyebabkan pelarian ke pasar keuangan yang aman, mendorong harga obligasi naik dan suku bunga lebih rendah.
Ini mungkin menjadi penyeimbang yang menarik untuk tren saat ini menuju kenaikan suku bunga di banyak negara maju. Namun, gambarannya akan diperumit oleh inflasi yang lebih tinggi yang didorong oleh potensi kekurangan komoditas yang diuraikan di atas.
Seberapa banyak bank sentral bersedia untuk melihat melalui inflasi yang disebabkan oleh sumber asing di luar kendali mereka belum benar-benar diuji pada periode saat ini karena Fed bersiap untuk menaikkan suku bunga AS pada bulan Maret.
Di sisi mata uang, Rabobank mengharapkan bahwa dolar AS, yen Jepang, franc Swiss, dan emas akan menjadi tujuan utama jika terjadi konflik. Rubel Rusia akan merosot jika terjadi perang atau sanksi, dan euro juga kemungkinan tidak akan disukai.
(pgr/pgr)