Analisis

Dunia Terancam 'Pincang' Jika Ukraina-Rusia Gagal Berdamai

Feri Sandria, CNBC Indonesia
Sabtu, 19/02/2022 16:45 WIB
Foto: Sejumlah warga melakukan aksi protes terhadap potensi eskalasi ketegangan antara Rusia dan Ukraina di pusat Kyiv, Ukraina, Sabtu (12/2/2022). (AP Photo/Efrem Lukatsky)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan antara NATO dan Rusia telah meroket ke level tertinggi dalam puluhan tahun. Meski kondisi terlihat sedingin awal pekan ini, situasi tersebut tidak bertahan lama, bahkan saat ini Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden meyakini bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin telah membuat keputusan untuk menginvasi Ukraina.

Meski demikian upaya untuk meredakan krisis secara diplomatis masih terus berlanjut, para pemimpin dunia telah memulai serangkaian kunjungan internasional dalam beberapa hari terakhir untuk mencoba menyelesaikan kebuntuan tersebut.

"Belum terlambat untuk menurunkan eskalasi dan kembali ke meja perundingan," kata Biden, mengacu pada pembicaraan yang direncanakan antara Menteri Luar Negeri Antony J. Blinken dan menteri luar negeri Rusia minggu depan. "Jika Rusia mengambil tindakan militer sebelum hari itu, akan jelas bahwa mereka telah menutup pintu diplomasi."


Meski pembicaraan masih berjalan, setelah ketakutan akan invasi skala penuh ke Ukraina tidak memudar apalagi setalah pejabat Amerika yang berbasis di Eropa menilai bahwa Rusia memiliki sebanyak 190.000 tentara yang berkumpul di perbatasan Ukraina dan di dalam dua wilayah separatis pro-Moskow, Donetsk dan Luhansk.

Ketegangan di wilayah itu kembali meningkat ketika separatis yang didukung Rusia di Ukraina timur menyerukan evakuasi massal di daerah itu pada hari Jumat, mengklaim bahwa pasukan pemerintah Ukraina akan menyerang. Para pejabat Barat mengecam dan menuding itu adalah upaya terbaru Rusia untuk menciptakan dalih untuk invasi.

Joe Biden memperingatkan Putin tentang sanksi ekonomi dan keuangan yang akan memiliki konsekuensi besar dan langsung pada ekonomi Rusia."

Pukulan ekonomi terparah yang bisa diberikan Amerika Serikat adalah memutuskan Rusia dari sistem perbankan internasional. Biden juga mengatakan bahwa invasi Rusia dapat menyebabkan musnahnya salah satu proyek berharga Moskow, Nord Stream 2 senilai US$ 11 miliar.

Proyek Nord Stream 2 yang diancam akan dirudal Biden tersebut merupakan jalur gas alam dari ladang Rusia ke pantai Jerman, yang membentang 764 mil di bawah Laut Baltik dan akan menggandakan kapasitas Nord Stream awal tahun 2011.

Jalur ini akan memasok gas ke Jerman - negara yang sangat bergantung pada impor gas dan minyak - dengan biaya yang relatif rendah.

Jaringan pipa baru tersebut sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan energi Rusia Gazprom, yang mayoritas dimiliki oleh pemerintah. Gazprom juga memiliki 51 persen dari pipa Nord Stream asli.

Meskipun para pendukung jalur pipa, termasuk Jerman dan Rusia, melihatnya sebagai kesepakatan bisnis yang hebat yang menyediakan energi yang lebih murah, Nord Stream 2 telah menarik kemarahan dari banyak lawan, termasuk AS yang takut kesepakatan ini memberi Rusia terlalu banyak kekuatan atas pasokan gas Eropa. Hal ini pada akhirnya mengubah lanskap geopolitik dan keamanan Eropa.

Ukraina dan Polandia adalah negara yang dengan keras menentang jalur pipa baru tersebut. Ukraina telah lama menjadi negara perantara energi, dengan perusahaan Rusia memasok sebagian besar pasokan gas Eropa melalui tanah Ukraina dan membayar biaya transit dalam prosesnya. Kritik juga beranggapan bahwa dengan melewati Ukraina, Rusia bertujuan untuk melemahkan dan mengisolasi Ukraina.

Selain itu, Pemerintah AS juga akan mencoba membekukan aset pribadi yang dipegang Putin dan sekutunya di luar negeri, kata para pejabat.


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Mau Damai Dengan Ukraina, Rusia Beri Syarat Penyerahan Wilayah

Pages