Rafale dan Ambisi Jokowi - Prabowo Geber Alutsista RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Langkah Indonesia membeli 42 jet tempur Rafale dari Prancis mempertegas rencana pemerintah memperkuat alutsista nasional. Hal ini juga sejalan dengan ambisi yang dimiliki Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Sejak dipimpin Prabowo, Kementerian Pertahanan memiliki program mempercepat pembangunan kekuatan militer Indonesia melalui pengadaan senjata berskala besar. Rencana ini, menurut Konsultan Defense Industry and Market di PT Semar Sentinel Alman Helvas Ali, tertuang dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Strategis Pertahanan 2021-2045.
"Rancangan perpres ini cukup ambisius untuk pembangunan kekuatan pertahanan hingga 2045, khususnya menyangkut rencana pembelian senjata selama hingga 25 tahun ke depan yang dibagi dalam lima fase rencana strategis (renstra)," tulis Alman pada Mei 2021 lalu.
Ambisi besar Prabowo memperkuat alutsista Indonesia tak lepas dari visi dan misi yang dibawa pemerintahan Jokowi periode ini. Alhasil, kini Indonesia resmi menyepakati aktivasi kontrak pembelian 6 dari total 42 jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation, Prancis, senilai US$ 8,1 miliar atau sekitar Rp 116 triliun(Rp 14.344/US$).
Kesepakatan itu telah diteken dalam pertemuan antara Prabowo dan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly di kantor pusat Kemhan RI, Jakarta, Kamis (10/2/2022). Pada hari yang sama, Jokowi menjami Florence di Istana Merdeka dan membahas beberapa hal.
Salah satu pembahasan Jokowi dan Florence adalah potensi kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Prancis. Jokowi menyambut baik penandatanganan beberapa nota kesepahaman atau MoU kerja sama pertahanan termasuk dalam hal kerja sama MRO (maintenance,repair,overhaul) pesawat Rafale, pengembangan kapal selam, pengadaan satelit, hingga produksi amunisi kaliber besar.
"Saya harap kerja sama pertahanan tidak hanya terfokus pada pembelian alutsista, namun juga memikirkan pengembangan dan produksi bersama, alih teknologi, serta investasi di bidang industri pertahanan," kata Jokowi dalam siaran pers BPMI Sekretariat Presiden.
Pembelian 42 pesawat tempur dari Prancis sesuai dengan isi Rencana Strategis Pertahanan 2024. Pada dokumen itu, Indonesia disebut hendak menggelar 10 - 12 squadron pesawat tempur.
Pengamat Militer Andi Widjajantoberkata, pembelian Rafale menunjukkan keseriusan pemerintah menjalankan rencana strategis pembangunan kekuatan pertahanan 2024 yang ditetapkan dari 2006 lalu.
"Jadi dengan penambahan Rafale sebanyak 42 pesawat tempur sebetulnya kita masih kekurangan nanti ada 80-an pesawat tempur," kata Andi Widjajanto kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/2/2022).
Demi memenuhi target dalam Renstra Pertahanan, pemerintah disinyalir akan kembali memborong pesawat tempur dari luar negeri.Salah satau rencananya, pesawat tempur yang hendak dibeli Indonesia berasal dari Amerika Serikat (AS).
Kementerian Luar Negeri AS melalui keterangan tertulis mengizinkan penjualan jet F-15EX kepada Indonesia. Potensi penjualannya mencapai 36 unit.
Jika terealisasi, penjualan itu ditaksir bernilai US$ 9,5 miliar (Rp 136,27 triliun). Total biaya pembelian pesawat jet dari AS bisa mencapai US$ 13,9 miliar (Rp 199,38 triliun).
Sebagai catatan, pada 2021 lalu Prabowo sempat berkata bahwa dirinya diminta Jokowi untuk menyusun masterplan pengadaan alutsista dalam jangka 25 tahun. Masterplan ini berpotensi menggantikan Minimum Essential Force (MEF).
"Presiden telah memerintahkan saya tahun lalu untuk bersama-sama pimpinan TNI menyusun suatu masterplan, rencana induk 25 tahun yang memberi kepada kita suatu totalitas kemampuan pertahanan," kata Prabowo saat itu.
MEF adalah ketentuan minimum yang sudah disusun pemerintah untuk pengadaan alutsista RI. MEF dibagi ke dalam beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun, di mana tahap pertama dimulai pada 2010 - 2014, tahap kedua 2015 - 2019, dan seharusnya sudah mencapai 100% pada akhir tahap ketiga yakni periode 2020 - 2024.
Akan tetapi, hingga 2021 capaian MEF masih berada di bawah 65% dari 75% yang ditargetkan pada 2019. Namun, persoalan ini memang tak lepas dari keterbatasan anggaran yang dimiliki otoritas pertahanan.
(mij/mij)