
Makin Panas! Ini Senjata Rahasia Rusia 'Belah' Eropa Jadi 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi geopolitik dunia kian memanas. Teranyar adalah konflik antara Rusia dan Ukraina, yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan NATO.
Rusia disebut telah mengerahkan 100.000 pasukan ke perbatasan Ukraina untuk menyerang negara itu. Kedekatan dengan Barat menjadi penyebab, apalagi Ukraina berniat masuk NATO.
Meski demikian, Rusia sesungguhnya memiliki "senjata rahasia" untuk melumpuhkan Eropa. Bahkan memecah belah Eropa.
Senjata ini dapat melumpuhkan kegiatan Eropa dan membuat benua itu berada dalam sebuah krisis besar. Namun senjata itu bukan bomber atau kapal perang nuklir melainkan gas alam, di mana Rusia merupakan salah satu eksportir besar sumber energi itu.
Menurut data badan data Eurostat di tahun 2020, Rusia menyumbang sekitar 38% dari impor gas alam Uni Eropa. Negeri itu mengirimkan hampir 153 miliar meter kubik.
Kontribusi Negeri Beruang Putih semakin besar di Benua Biru semenjak produksi gas Belanda menurun akibat penutupan ladang gas. Belum lagi penutupan PLT Nuklir Prancis dan PLTU batu bara Jerman.
Saat ini Eropa pun masih menghadapi tekanan dari krisis energi akibat pasokan yang langka sehingga menyebabkan harga gas masih tinggi. Dampaknya biaya-biaya jadi mahal baik untuk rumah tangga maupun industri.
Pertengkaran kecil antara Rusia-Ukraina pada musim dingin 2008-2009 telah menghentikan aliran gas dan membuat sebagian Eropa kedinginan. Ini juga dikhawatirkan kembali terjadi di Eropa jika Rusia kembali "ngambek" dan tak ada jalan damai.
Pakar energi di Pusat Studi Strategis dan Internasional, Nikos Tsafos, mengatakan bahwa bila pasokan gas dari Rusia ke Eropa dihambat, hal itu akan menjadi 'bencana besar'. Ia menyebut benua itu akan mengalami krisis energi yang sangat fatal.
"Pemutusan total ekspor energi Rusia akan menjadi bencana besar. Tidak ada cara bagi Eropa untuk membatalkan volume tersebut dengan cara yang berarti," katanya dikutip CNN International, dikutip Kamis (9/2/2022).
Meskipun Eropa telah melakukan investasi besar dalam energi terbarukan seperti angin dan tenaga surya, tulis The New York Times, ternyata sumber pasokan konvensional masih dibutuhkan. Pembangkit listrik berbahan bakar gas adalah salah satu dari sedikit pilihan yang tersisa.
"Ini adalah semacam momen 'oh my God' di mana kawasan itu menyadari bahwa itu sangat bergantung pada gas Rusia," kata, kepala penelitian makro global di bank Belanda ING, Carsten Brzesk.
Persoalan gas ini juga sepertinya membuat sejumlah pemimpin Eropa tak serta merta sejalan dengan kemungkinan perang. Prancis misalnya mendorong diplomasi untuk mencegah konflik.
Kremlin juga mengatakan kedua pemimpin telah membahas Ukraina. Termasuk tuntutan Putin untuk jaminan keamanan yang akan mencakup penghentian mengikat secara perluasan pengaruh NATO ke Eropa timur.
Sementara itu, anggota NATO lain, Hungaria juga turun tangan. PM Viktor Orban melakukan pembicaraan dengan Putin. Ia menegaskan perbedaan Rusia dan Barat masíh bisa dijembatani. Kesepakatan damai bisa dimunculkan.
(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rusia Disebut 'Biang Kerok' Krisis di Eropa, Kok Bisa?
