Lapor Pak Jokowi, Impor LPG RI di 2021 Meroket 58%!
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.
Meski dari sisi nilai impor LPG ini naik signifikan, dari sisi volume impor hanya naik tipis. Berdasarkan data BPS, volume impor LPG sepanjang Januari-Desember 2021 tercatat sebesar 6,42 juta ton, naik tipis dari 6,35 juta ton pada 2020 lalu.
Adapun impor LPG tersebut terdiri dari impor bahan baku LPG yakni propana dan butana. Untuk impor propana pada 2021 tercatat sebesar 3,17 juta ton dan butana 3,21 juta ton.
Lonjakan nilai impor LPG tak terlepas dari kenaikan harga LPG di pasar internasional, khususnya Contract Price Aramco (CP Aramco). Apalagi, pasokan LPG Indonesia masih didominasi oleh impor. Sekitar 80% dari kebutuhan LPG nasional berasal dari impor.
Pada akhir Desember 2021 lalu misalnya, PT Pertamina (Persero) akhirnya menaikkan harga LPG non subsidi sebesar Rp 1.600 - Rp 2.600 per kilo gram (kg) menjadi Rp 11.500 per kg.
Di pasaran kini harga LPG per tabung 12 kg tersebut bisa mencapai sekitar Rp 175 ribu - Rp 177 ribu. Bahkan, tak menutup kemungkinan di beberapa daerah ada yang lebih dari harga tersebut.
Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting sempat mengatakan bahwa kenaikan harga jual LPG ini karena dipicu kenaikan CP Aramco.
Pada November 2021, harga LPG CP Aramco mencapai US$ 847 per metrik ton, harga tertinggi sejak tahun 2014 atau meningkat 57% sejak Januari 2021.
"Penyesuaian harga LPG non subsidi terakhir dilakukan tahun 2017. Harga CPA November 2021 tercatat 74% lebih tinggi dibandingkan penyesuaian harga 4 tahun yang lalu," ungkap Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting kepada CNBC Indonesia, Senin (27/12/2021).
Terus melonjaknya impor LPG ini tak ayal juga turut membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram. Pada saat peresmian proses pembangunan atau groundbreaking proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Kawasan Industri Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pada 24 Januari 2022 lalu, Presiden pun tak segan untuk mengungkapkan kekesalannya atas besarnya impor LPG RI.
"Saya sudah berkali-kali sampaikan mengenai hilirisasi, industrialisasi. Pentingnya mengurangi impor. Ini sudah enam tahun yang lalu saya perintah, tapi alhamdulillah hari ini meski dalam jangka panjang belum bisa dimulai, alhamdulillah bisa kita mulai hari ini, groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi DME," ungkapnya saat memberikan acara sambutan groundbreaking proyek DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/01/2022).
Jokowi menyebut, impor LPG Indonesia selama ini sangat besar bisa sekitar Rp 80 triliun dari kebutuhan Rp 100 triliun. Di sisi lain, pemerintah masih memberikan subsidi sekitar Rp 60-70 triliun per tahunnya.
"Pertanyaan saya, apakah ini mau kita lakukan terus-terusan? impor terus? Yang untung negara lain, yang terbuka lapangan kerja juga di negara lain, padahal kita memiliki raw material-nya, yaitu batu bara yang diubah jadi DME," tuturnya.
Presiden Jokowi menyebut, bila proyek DME di Tanjung Enim ini berjalan, maka bisa mengurangi subsidi APBN sebesar Rp 7 triliun.
"Kalau semua LPG nanti disetop, dan semua nanti pindah ke DME, duitnya gede sekali Rp 60-70 triliun itu akan bisa dikurangi subsidinya dari APBN," ujar Jokowi.
Selain mengurangi subsidi APBN, menurutnya ini juga berperan memperbaiki neraca perdagangan RI. Oleh karena itu, menurutnya proyek ini akan terus dikawalnya.
"Ini yang kita kejar, selain kita bisa perbaiki neraca perdagangan kita. Neraca transaksi berjalan kita karena kita gak impor," ujarnya.
(wia)