
Kalau Lihat Ini, World War 3 Sepertinya Tak Akan Terjadi

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu ancaman Perang Dunia 3 (World War 3) semakin terlihat seiring panasnya hubungan Rusia "melawan" Ukraina, Amerika Serikat (AS) dan NATO.
Namun, ada secercah harapan perdamaian bisa terwujud. Ini setidaknya terlihat dari upaya sejumlah pemimpin Eropa untuk berbicara dengan dua aktor utama yakni Rusia dan Ukraina.
Pemimpin Turki dan Prancis adalah dua di antaranya. Kedua presiden berusaha untuk menengahi krisis dengan melakukan komunikasi via telepon bahkan langsung dengan Rusia dan Ukraina.
Kamis (3/2/2022), Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berupaya menjadi perantara. Ia mengunjungi Kyiv untuk membujuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky soal diadakannya pertemuan puncak perdamaian Ukraina-Rusia.
"Turki siap melakukan bagiannya untuk menyelesaikan krisis antara dua negara sahabat yang bertetangga di Laut Hitam," katana dikutip AFP, Jumat (4/2/2022).
"Saya mengatakan dalam pembicaraan lagi bahwa kami dapat dengan senang hati menjadi tuan rumah pertemuan puncak di tingkat para pemimpin, atau menjadi tuan rumah diskusi tingkat teknis."
Di sisi lain, Erdogan juga mencoba merayu Presiden Rusia Vladimir Putin agar mengunjungi Turki usai perjalanannya ke China. Putin kini berada di Beijing guna menghadiri Olimpiade Musim Dingin Beijing dan bertemu Presiden Xi Jinping.
"Kunjungan kami (memang) berlangsung dalam periode sensitif," kata Erdogan lagi.
Meski begitu, Erdogan menegaskan bahwa Turki akan terus mendukung integritas teritorial bekas republik Uni Soviet. Termasuk menolak pencaplokan semenanjung Krimea Ukraina tahun 2014 oleh Rusia.
Di hari yang sama, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengadakan pembicaraan telepon dengan Zelensky dan Putin. Ia juga mencoba meredakan ketegangan.
Sebelumnya Macron bahkan sempat mengutarakan keinginannya datang ke Negeri Beruang Putih. Ia mengaku prihatin pada situasi saat ini dan ingin menjadikan de-eskalasi prioritas.
"Dialog lanjutan dengan Emmanuel Macron untuk melawan tantangan keamanan dan meningkatkan proses perdamaian dalam format Normandia," tweet Zelensky setelah panggilan telepon, merujuk pada pembicaraan yang melibatkan Rusia, Ukraina, Prancis, termasuk Jerman itu.
"Moskow menegaskan permintaan Rusia untuk jaminan keamanan jangka panjang" dan bahwa Putin sekali lagi menggarisbawahi perhatian pada pernyataan dan tindakan provokatif dari kepemimpinan Kyiv," tegas Rusia usai panggilan yang sama.
Sebenarnya Eropa dan Rusia saling tergantung. Menurut data badan data Eurostat di tahun 2020, Rusia menyumbang sekitar 38% dari impor gas alam Uni Eropa, dengan mengirimkan hampir 153 miliar meter kubik.
Kontribusi Rusia semakin besar di Benua Biru semenjak produksi gas Belanda menurun akibat penutupan ladang gas. Belum lagi penutupan PLT Nuklir Prancis dan PLTU batu bara Jerman.
Saat ini Eropa pun masih menghadapi tekanan dari krisis energi akibat pasokan yang langka sehingga menyebabkan harga gas masih tinggi. Dampaknya biaya-biaya jadi mahal baik untuk rumah tangga maupun industri.
Inflasi Eropa pun meningkat menjadi 5% pada bulan Desember 2021 dari yang biasanya stabil di rentang 2-2,5%. Apalagi saat ini Eropa masih mengalami musim dingin.
Tak hanya soal energi, jika pun ada sanksi ke Rusia, ini juga akan mengguncang keuangan Eropa. Terutama jika hukumannya menonaktifkan Rusia dari sistem pembayaran internasional.
Salah satunya melalui dari Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ini adalah jaringan keamanan tinggi yang menghubungkan ribuan lembaga keuangan di seluruh dunia.
Anggota majelis tinggi parlemen Rusia Nikolai Zhuravlev buka suara soal ini. Mengutip CNN International, ia mengatakan bahwa pengiriman minyak, gas dan logam ke Eropa akan berhenti jika hal itu terjadi.
"Jika Rusia terputus dari SWIFT, maka kami tidak akan menerima mata uang (asing). Pembeli, negara-negara Eropa, juga tidak akan menerima barang kami... minyak, gas, logam, dan komponen penting lainnya," katanya sebagaimana dimuat TASS.
SWIFT sendiri didirikan pada tahun 1973 untuk menggantikan teleks. Kini digunakan oleh lebih dari 11.000 lembaga keuangan untuk mengirim pesan dan perintah pembayaran yang aman.
Sebelumnya, Bank Sentral Eropa (ECB) memberi peringatan bagi pemberi pinjaman dengan eksposur signifikan ke Rusia untuk mempersiapkan diri mereka jika Rusia terkena sanksi. ECB menilai sanksi akan meningkatkan risiko yang cukup besar bagi bank-bank internasional termasuk Citi di AS, Société Générale Prancis, Raiffeisen Austria, dan UniCredit Italia.
Bank-bank internasional memiliki sekitar US$ 121 miliar aset yang terutang oleh entitas yang berbasis di Rusia. Selain itu, ada US$ 128 miliar dalam bentuk pinjaman dan dana simpanan dari entitas Rusia ke bank asing, menurut Bank for International Settlements.
Risiko tambahan bagi bank-bank Eropa adalah bahwa konflik di Ukraina dapat memukul nilai mata uang rubel. Ini mengurangi valuasi yang dimiliki anak perusahaan mereka di Rusia.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Negara Ini Diramal Jadi Lokasi Perang Dunia 3, Dekat RI?
