SKK Migas Meramal: Jangka Pendek Harga Minyak Masih Tinggi
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia cenderung masih tinggi, meskipun sudah meninggalkan level US$ 90 per barel. Mengacu CNBC International, harga minyak Brent yang menjadi patokan seluruh dunia pada Kamis (3/2/2022) mencapai level US$ 88,74 per barel.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto menyampaikan, dalam jangka pendek harga minyak masih akan mengalami peningkatan, hal itu karena meningkatnya demand atau permintaan.
"Harga minyak dengan recovery economy dan kaitannya dengan Ukraina, sampai hari ini harga minyak masih tinggi, meskipun sempat turun. dengan statement OPEC dan hari ini sekitar US$ 89 per barel. masih cukup tinggi," ungkap Dwi Soetjitpo.
Sementara itu, ia memprediksi dalam jangka panjang suplai akan dapat mencukupi demand. Sehingga harga minyak akan mengalami penurunan dan berada kembali dikisaran US$ 60 per barel.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha mengatakan, penurunan stok minyak mentah terjadi akibat adanya gangguan infrastrukturi pada beberapa waktu yang lalu.
"Penurunan minyak di AS yang mana mereka menurunkan minyak sekitar 872 ribu barel. Ini mempunyai dampak, dia menekan daripada penurunan stoknya," terang Satya Yudha kepada CNBC Indonesia, Senin (31/1/2022).
Sampai saat ini, kata Satya belum terlihat komitmen AS untuk kembali mengerek produksi minyak mentahnya tersebut. Padahal dalam meeting yang terjadi di Organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) 4 Januari 2022 lalu, AS betul-betul komitmen untuk meningkatkan produksi.
"Jadi kalau sudah meningkatkan produksi otomatis bisa menekan harga atau menstabilkan harga. dua faktor ini yang kita lihat," ungkap Satya Yudha.
Satya menilai, dengan menurunkan stok produksi minyak mentahnya, AS sudah pasti memperhitungkan apa yang sedang terjadi di Yaman dan yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina. Ia memperhitungkan apakah The Fed akan menaikan suku bunga. "Itu juga yang menjadi faktor-faktor dan yang perlu kita amati," ungkap Satya.
Jadi, kata Satya, tren kenaikan harga minyak mentah dunia ini juga terjadi bukan melulu soal suplai demand. Sebab, kalau suplai demand dalam situasi yang peaceful itu akan lebih mudah di atasi.
"Tapi kita memasukkan faktor geopolitik ini variabelnya menjadi tinggi. betul-betul nanti perang terjadi, itu juga pasti akan menimbulkan dampak terhadap minyak dunia, tinggal bagaimana OPEC mau engga meningkatkan harga produksinya? Kalau mau, sedikit banyak menjadi balance terhadap tekanan geopolitik," tandas Satya.
(pgr/pgr)