
Dua Proyek Migas Raksasa RI, Tak Kunjung Temui Pemilik Baru

Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib dua proyek raksasa minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia yakni proyek gas laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) dan proyek gas abadi Blok Masela, nampaknya tersendat-sendat. Kedua proyek itu memiliki nasib yang sama, akan ditinggalkan oleh pemegang hak partisipasinya.
Contohnya proyek IDD yang dioperatori oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI), yang sejak tahun 2020 menyatakan untuk tidak meneruskan proyek gas laut dalam yang berlokasi di Cekungan Kutai, Kalimantan Timur itu. Alasannya, karena proyek tersebut tidak masuk ke dalam protfolio global Chevron.
Entah apakah dengan rencana hengkangnya Chevron akan mengganggu jalannya proses pengembangan proyek, yang sejatinya direncanakan bakal on stream pada kuartal VI 2025.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menyebutkan bahwa, saat ini pihak dari Chevron sendiri masih mencari operator pengganti di wilayah kerja IDD tersebut. "Untuk proyek IDD ini update sekarang adalah operator Chevron masih sedang over mencari operator pengganti," terang Dwi.
Asal tahu saja, ada dua proyek di Blok IDD yakni Gendalo dan Gehem. Proyek ini direncanakan akan on stream pada kuartal VI tahun 2025, yang memiliki produksi mencapai 844 MMSCFD dan 27.000 BOPD ini memiliki nilai investasi mencapai US$ 6,98 miliar.
Selain IDD, seperti kita ketahui bahwa proyek migas raksasa lainnya adalah gas abadi Blok Masela di Maluku. Proyek Masela yang direncakan on stream pada kuartal 2 tahun 2027 ini memiliki nilai investasi mencapai US$ 19,8 miliar.
Masalah yang terbaru, salah satu operatornya yakni Shell berencana akan hengkang dari Blok Masela ini. Namun upaya hengkangnya Shell belum bisa dilaksanakan lantaran divestasi saham 35% atau saham yang akan dijual oleh Shell tak kunjung menemui pembeli. SKK Migas mencatat bahwa sulitnya Shell mendapatkan pembeli Blok Masela ini lantaran asetnya dianggap tidak kompetitif, karena adanya syarat green energy.
"Masela masih proses diskusi pengembangan lebih lanjut," ungkap Dwi.
Sebelumnya kepada CNBC Indonesia, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Tugas Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Fatar Yani Abdurrahman membeberkan bahwa Shell masih kesulitasn mencari investor untuk membeli divestasi saham 35% di Blok Masela itu.
"Asetnya dianggap tidak kompetitif, karena adanya syarat green energy sekarang ini," terang Fatar kepada CNBC Indonesia, Kamis (30/12/2021).
Fatar Yani membaca bahwa sebagai syarat green energy rencana pengembangan atau Plant of Development (PoD) di Blok Masela harus memasukan fasilitas penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau akrab disapa CCUS. "Kalau kita baca secara tidak langsung kan menjadi syarat," terang Fatar Yani
Sayangnya Fatar tidak menjelaskan detil aset-aset apa saja yang dianggap tidak kompetitif dan tidak masuk kriteria green energy. Namun, kata dia, selain aset Liquifed Natural Gas (LNG) yang rencananya akan dibangun di on shore atau darat di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku itu katanya juga tidak kompetitif.
"Inpex juga melihat LNG ke depannya tidak kompetitif. Jadi produk LNG-nya juga mesti green. Makanya mereka mengajukan CCS/CCUS itu untuk revisi PoD," ungkap Fatar Yani.
Saat ini Shell adalah pemilik hak partisipasi di Blok Masela sebesar 35%. Sisanya 65% dimiliki oleh Inpex Masela.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Blok Masela 'Drama' Lagi, Shell Tak Dapat Investor Pengganti
