Fakta "Harta Karun" Lapindo: Mahal dari Emas & Diminati Asing
Jakarta, CNBC Indonesia - Bagian dalam lumpur Lapindo ternyata berpotensi lebih mahal dari emas. Ini diungkap Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Eko Budi Lelo mengatakan informasi itu berdasarkan sebuah penyelidikan umum yang dilakukan sejak 2020. Lumpur Lapindo terindikasi mengandung harta karun mineral kritis hingga super langka.
Harta karun tersebut yakni mineral kritis (Critical Raw Material) dan logam tanah jarah atau rare earth element (RRE). Dari temuan itu, kandungan paling tinggi adalah mineral kritis berupa Lithium (Li) dan Stronsium (Sr) sementara kadar logam tanah jarang masih rendah.
"Terkait penyelidikan umum di lumpur Sidoarjo, yang kadarnya cukup tinggi adalah Lithium. Ini merupakan mineral kritis untuk energi bersih dan high tech ke depan. Dari sampel yang kami dapatkan, logam tanah jarang dalam hal ini Celium ini cukup rendah," tuturnya kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Sebagai informasi, Lithium adalah mineral kritis yang dapat diolah menjadi bahan baku komponen teknologi masa depan dan diminati asing. Salah satunya dapat diubah menjadi baterai, bisa untuk kendaraan listrik atau pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Dengan indikasi itu, pihak ESDM sedang melakukan uji ekstraksi untuk lithium. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara (Puslitbang Tekmira) Kementerian ESDM.
Eko menjelaskan dalam melakukan penelitian tersebut pihaknya berkoordinasi dengan berbagai pihak, dari pemerintah pusat (Kementerian/Lembaga terkait) dan pemerintah daerah (Dinas ESDM dan unusr Pemda lain). Bila hasilnya menunjukkan nilai ekonomis, maka akan jadi kewenangan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM untuk mengelola dan dilelang oleh Ditjen Minerba.
Wilayah Lumpur Lapindo sendiri saat ini telah masuk dalam Wilayah Kerja Migas Brantas. Salah satunya dikelola oleh PT Minarak Brantas Gas.
Sementara, Corporate Secretary Minarak Group, Ananda Arthaneli mengungkapkan tanah dan bangunan di area tersebut bagian dalam Peta Area Terdampak (2007). Ini sudah dilakukan jual beli oleh PT Minarak lapindo Jaya (MLJ) sebagai jaminan pinjaman Dana Antisipasi, yang diatur Perpres 76 tahun 2015 da Perjanjian Dana Antisipasi.
Kepada CNBC Indonesia, dia mengatakan tanah Lumpur Lapindo bukan lagi termasuk Blok Migas Brantas. Per 3 Agustus 2018 lalu, Kementerian ESDM juga telah memberikan perpanjangan kontrak pada blok migas dan dapat beroperasi hingga 2040 mendatang.
"Saat ini kami masih berdiskusi dengan pemerintah terkait dengan settlement. Tanah Lumpur Sidoarjo tersebut saat ini bukan merupakan bagian dari Blok Brantas," jelasnya.
"Kalau untuk tanah dan bangunan dalam PAT 22 Maret 2007 sudah dilakukan jual beli oleh PT MLJ adalah milik PT MLJ, namun merupakan jaminan dalam rangka pinjamam Dana Antisipasi. Sampai saat ini terkait settlement kami masih melakukan diskusi dan kordinasi dengan pihak pemerintah."
Untuk indikasi mineral logam tanah jarang di sana, Ananda mengatakan pihaknya masih melakukan kajian internal. Dalam kegiatan itu juga melibatkan sejumlah ahli dan menjanjikan akan mengumumkan hasil kajian tersebut.
Namun dia tak menjelaskan detil hasil kajian itu. Serta belum bisa menyebutkan jika memang ada 'harta karun' super langka, apakah akan diproduksi langsung Minarak dan Lapindo Brantas serta PT Prakarsa Brantas.
"Untuk nanti diproduksi oleh siapa kami belum mempersiapkan itu. Namun pastinya kami akan kordinasi bersama pemerintah," jelasnya.
(npb/npb)