Harga Batu Bara Cs Diramal Bakal Turun Sebelum Akhir 2023

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
28 January 2022 19:50
Pekerja membersihkan sisa-sisa batu bara yang berada di luar kapal tongkang pada saat bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). Pemerintah Indonesia berambisi untuk mengurangi besar-besaran konsumsi batu bara di dalam negeri, bahkan tak mustahil bila meninggalkannya sama sekali. Hal ini tak lain demi mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat, seperti yang dikampanyekan banyak negara di dunia. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga untuk berbagai komoditas telah naik ke level tertinggi selama tujuh tahun terakhir atau lebih karena pengebor, penambang, dan petani berjuang untuk memenuhi permintaan yang meningkat seiring pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.

Harga energi berada pada level tertinggi sejak 2014, sementara harga non-energi terkuat sejak 2011, menurut laporan Bank Dunia, dikutip dari Reuters, Jumat (28/01/2022).

Harga komoditas selalu memiliki siklus dan kenaikan baru-baru ini hampir pasti akan menciptakan kondisi untuk penurunan berikutnya, seperti yang terjadi di masa lalu.

Secara teori, eskalasi harga dapat dibalikkan dengan pertumbuhan produksi yang lebih cepat, pertumbuhan konsumsi yang lebih lambat, atau kombinasi keduanya.

Dalam praktiknya, pemicu yang paling mungkin adalah perlambatan siklus manufaktur global yang menyebabkan pertumbuhan konsumsi komoditas melambat.

Sudah ada tanda-tanda siklus manufaktur telah melewati titik belok, dengan pertumbuhan yang cepat setelah pandemi dan penguncian wilayah (lockdown) memberi jalan ke tingkat pertumbuhan moderat pada kuartal keempat tahun 2021.

Mengutip Reuters, survei bisnis, perkiraan produksi industri, dan pergerakan kargo semuanya menunjukkan tingkat ekspansi yang melambat pada paruh kedua tahun lalu di Amerika Utara, Eropa, dan Asia.

Manufaktur global kemungkinan akan mengalami perlambatan pertengahan siklus yang signifikan - jika bukan resesi akhir siklus - pada pertengahan 2023.

Naiknya harga komoditas, kelangkaan energi, kendala kapasitas di bidang manufaktur, kesalahan dalam perkiraan permintaan dan kenaikan suku bunga adalah semua pemicu potensialnya.

Ada variasi yang cukup besar dalam panjang siklus manufaktur ini, dengan standar deviasi sekitar rata-rata 17-18 bulan.

Akibatnya, upaya untuk memprediksi waktu resesi menjadi menantang, bahkan para peneliti siklus bisnis yang paling berpengalaman sekalipun.

Di masa lalu, para peneliti telah mengidentifikasi kemungkinan siklus Kitchin 3-4 tahun yang dikaitkan dengan perubahan inventaris dan siklus Juglar 7-11 tahun yang dikaitkan dengan investasi pada bangunan dan peralatan yang berumur panjang.

Tapi sementara ada bukti periodisitas itu tidak cukup teratur dan stabil untuk bertindak sebagai panduan yang dapat diandalkan untuk peramalan siklus bisnis.

Meskipun demikian, pada pertengahan tahun 2023, ekspansi saat ini akan relatif matang, sehingga setiap perkiraan untuk aktivitas manufaktur dan konsumsi komoditas harus mencakup kemungkinan yang signifikan dari beberapa jenis perlambatan.

Kemungkinan akan ada beberapa kesalahan untuk memproyeksikan tingkat saat ini dan tingkat pertumbuhan produksi dan konsumsi komoditas ke depan hingga tahun 2022, 2023 dan 2024 tanpa mempertimbangkan kemungkinan fluktuasi ekonomi makro untuk sementara.

Harga komoditas dan siklus ekonomi makro terkait erat. Masalah rantai pasokan dan inflasi yang didorong oleh komoditas kemungkinan akan memicu penurunan, terutama dengan kebijakan menaikkan suku bunga dan perlambatan ekonomi makro yang kemungkinan terjadi pada tahun depan.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Baik Pak Jokowi! RI Pesta Pora Harga Hasil Alam Meroket

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular